November 2016, kami kedatangan kucing kampung yang hamil tua. Warna bulunya abu-abu. Kemudian saya memanggilnya Abu.
Si Abu ini gelisah, mengeong dengan panik, dan mencari-cari tempat tersembunyi.
Karena ketika SD saya pernah punya kucing 11 ekor, dan berkali-kali menunggui persalinan kucing, sayapun paham jika Si Abu sebentar lagi akan melahirkan.
Karena rumah kami sempit, kami tidak mungkin menampung Si Abu di dalam rumah. Lalu, saya sediakan Si Abu kardus yang super hangat di teras.
Dan begitu saya pulang kantor, Ken bercerita, dialah yang menunggui Si Abu ketika melahirkan.
Empat kucing lucu dengan 4 warna yang berbeda (hitam, oranye, putih dan abu-abu) pun resmi menjadi anggota keluarga kami. Sahhhhhhhhhhhhh.
Dengan telaten setiap hari saya mengganti alas mereka, memberi makanan Si Abu dengan menu oke, lalu memasukan mereka ke dalam rumah setiap turun hujan.
Empat kucing kecil kemudian tumbuh sangat sehat dan lincah. Ada yang suka bercanda, ada yang pemalu, ada yang penakut dan ada yang penyendiri. Melihat mereka, membuat beban hidup saya hilang 10 persen lah...wkkwkwkw.
Tapi kelucuan mereka kemudian hilang.
Belum genap mereka berusia dua bulan, tiba-tiba 3 kucing kecil lucu kami hilang dari teras. Tersisa hanya Si Hitam.
Si Abu pun gelisah dan mengeong keras mencari anak-anaknya.
Ya Tuhannnn... manusia macam apa yang tega mengambil atau membuang kucing sekecil itu?
(seminggu sebelumnya, tetangga depan rumah yang tidak suka kucing, meminta pengasuh Kin membuang kucing-kucing kami, tapi kami abaikan).
Sayapun menangis pilu selama seminggu. Terbayang bagaimmana Si Oranye, Si Putih dan Si Abu Junior, kelaparan, kedinginan.
Mereka belum tahu bagaimana mencari makan, mereka baru pada tahap mengenal makanan padat.
Seminggu pertama Si Abu stress, dia susah makan, dan terus mengeong memanggil anak-anaknya.
Sementara Si Hitam yang semula penyendiri, terlihat happy saja. Mungkin dia merasa bebas dari gangguan saudara-saudaranya.
Tapi kemudian Si Abu menjadi induk yang galak. Anaknya yang hanya tersisa satu, malah sering ia marahi.
Kemudian si Hitampun menjadi murung. Mungkin dia mulai merindukan saudara-saudaranya dan kehilangan kasih sayang ibunya.
Dan kemudian setelah si Hitam mulai dewasa, Si Abu hilang tanpa jejak seminggu. Lalu kembali ke rumah dalam keadaan kaki pincang, dan mengilang lagi sampai sekarang.
Duh.. Hitammmm....malang benar nasibmu. Saudaramu di buang manusia berhati setan, lalu ibu juga menghilang. Dirimu sebatangkara. Saya pikir nasib saya sudah mengenaskan..tapi rupanya hidupmu lebih memilukan.
Dan, kamipun hanya memiliki kucing satu
Hingga kemudian, datang kucing kecil warna abu-abu, selalu mengikuti Si Hitam yang mungkin ia anggap kakaknya.
Persahabatan unikpun terjalin diantara mereka. Keduanya berdua kemanapun. Sangat kompak terutama ketika meminta makan hehehe.
Lalu dari mana Si Abu-abu kecil ini datang?
Sayapun mendengar "gosip" dari pengasuh Kin. Kucing Abu kecil ternyata berasal dari halaman rumah pemilik rumah yang kami kontrak sekarang. Si Abu kecil ternyata memiliki induk yang sehat dan 2 saudara.Tapi si induk tidak menyukai Si Abu dan melarang Abu Kecil mendekat.
Haduhhh..kasihannnnnn
Sejak saat itu, Ken menamakan Si Abu kecil... Si Bully.
Jadi, sekarang kami memiliki dua kucing kampung dengan riwayat hidup yang memilukan.
Melihat keduanya membuat saya merasa bersyukur, dan kami saling menguatkan..
#staystrong ya Hitam..Bully.. begitulah bahasa kekiniannya.
No comments:
Post a Comment