Malam di desa. Ada banyak "hiburan". Suara jangkrik dan orong-orong adu nyaring dengan nyayian katak.
Ketika mereka telah lelah dan mengantuk, saatnya Burung Hantu unjuk suara seramnya, pertanda kami harus segera tidur.
Bagaimana dengan malam di kota yang saya tinggali kini?
Soal dunia malam, saya tak kenal. Katanya sih, penuh gemerlap. Setiap hari orang rela mengeluarkan jutaan rupiah demi begadang, dentuman musik, ruangan penuh asap rokok juga minuman beralkohol dan demi dianggap keren atau berkelas.
Kalau menurut saya sih itu konyol. Wong cari penyakit kok banyar muahal. Mending uangnya buat beli ikan, tahu, tempe, buah dan sayur mayur. Di jamin sehat bermanfaat.
Ah biarlah..toh itu uang mereka, kenapa saya harus usil. Kalau saya sih, jujur saja, memang tidak punya uang untuk ajojing (meminjam bahasa gaul jadul)..wkkwkwk
Bagi kehidupan level saya, malam sudah cukup meriah oleh suara tetangga yang merumpi tanpa henti. Suara bergosip mereka timbul tenggelam diantara deru kendaraan, klakson mobil, sirine polisi, dan sirine mobil pemadam kebakaran. Sayup dikejauhan, sesekali, suara kereta melintas mampir ke telinga. Terkadang ada juga musik dangdut menggelegar dari pesta kawinan atau sunatan dari RT sebelah.
Ya...begitulah.
Tapi...sesekali saya merindu malam di desa. Rindu riuh serangga dan amphibi. Juga rindu hening diseparuh malam, berbalut langit bertabur bintang, dengan bulan sebagai ratunya.
Entahlah..di Jakarta, kadang saya merasa tak ada malam. Seluruh hari adalah siang. Karena ketika sebagian orang sudah terlelap, saya masih mengukur jalanan, dan ketika sebagian orang masih terlelap, saya sudah mengukur jalanan.