Monday, 22 June 2015

Dunia Malam

Malam di desa. Ada banyak "hiburan". Suara jangkrik dan orong-orong adu nyaring dengan nyayian katak.
Ketika mereka telah lelah dan mengantuk, saatnya Burung Hantu unjuk suara seramnya, pertanda kami harus segera tidur.

Bagaimana dengan malam di kota yang saya tinggali kini?
Soal dunia malam, saya tak kenal. Katanya sih, penuh gemerlap. Setiap hari orang rela mengeluarkan jutaan rupiah demi begadang, dentuman musik, ruangan penuh asap rokok juga minuman beralkohol dan demi dianggap keren atau berkelas.
Kalau menurut saya sih itu konyol. Wong cari penyakit kok banyar muahal. Mending uangnya buat beli ikan, tahu, tempe, buah dan sayur mayur. Di jamin sehat bermanfaat.

Ah biarlah..toh itu uang mereka, kenapa saya harus usil. Kalau saya sih, jujur saja, memang tidak punya uang untuk ajojing (meminjam bahasa gaul jadul)..wkkwkwk

Bagi kehidupan level saya, malam sudah cukup meriah oleh suara tetangga yang merumpi tanpa henti. Suara bergosip mereka timbul tenggelam diantara deru kendaraan, klakson mobil, sirine polisi, dan sirine mobil pemadam kebakaran. Sayup dikejauhan, sesekali, suara kereta melintas mampir ke telinga. Terkadang ada juga musik dangdut menggelegar dari pesta kawinan atau sunatan dari RT sebelah.
Ya...begitulah.

Tapi...sesekali saya merindu malam di desa. Rindu riuh serangga dan amphibi. Juga rindu hening diseparuh malam, berbalut langit bertabur bintang, dengan bulan sebagai ratunya.

Entahlah..di Jakarta, kadang saya merasa tak ada malam. Seluruh hari adalah siang. Karena ketika sebagian orang sudah terlelap, saya masih mengukur jalanan, dan ketika sebagian orang masih terlelap, saya sudah mengukur jalanan. 


Sunday, 21 June 2015

Cinderella?

Berkali-kali menonton film Maid in Manhattan selalu membuat saya menangis. 
Film yang membuat saya bertanya, adakah terjadi dalam dunia nyata?
Saya pikir ini hanyalah versi modern dari dongeng klasik Cinderella.

Diceritakan Jennifer Lopez yang cantik jelita, memerankan pelayanan hotel yang membuat calon senator (diperankan oleh Ralph Fiennes ) tergila-gila. Film ini seperti penegasan, cinta itu buta, cinta tak kenal kasta, dengan ending yang membahagiakan.

Tapi..sejauh ini dalam dunia nyata tak banyak kisah mirip lakon Mba Jennifer. 
Yang saya tahu hanyalah kisah Mas Terminator  (Arnold Schwarzenegger) yang memiliki affair dengan pengasuh anaknya hingga konon memiliki seorang anak pula. Padahal ia memiliki istri berdarah Kennedy yang cantik, pintar dan terkenal, Mba Maria Shriver. 

Ah..sudahlah...
Setahu saya, orang kaya ya menikah dengan orang kaya. Itu hal yang wajar. Karena pergaulan orang kaya, tentu saja ya dengan orang mampu. Sehingga yang mereka kenal ya orang-orang tajir. Kehidupan yang mereka tahu ya...seperti itu. Janganlah mengecap mereka sombong, wong yang mereka tahu ya dunia sudah demikian adanya.

Saya pikir orang kaya menikahi orang kaya adalah pilihan paling tepat, paling aman, dan paling damai, sekaligus menghindarkan dari fitnah. Kenapa? Karena akan menghilangkan  pikiran negatif, di mana salah satu pihak, biasanya patut diduga dan dikira akan merongrong harta pihak yang lebih kaya. Betul bukan?

Kembali ke soal Maid in Manhattan..sepertinya saya hanya terbawa saja dalam alur ceritanya. 
Saya ke sengsem dengan pemeran calon senator yang bermata aduhai asoy .
Mas Ralph Fiennes..kapan kita bertemu?

Hahahhah...ngimpi!

Saturday, 20 June 2015

Tipe Apa?

Bertahun-tahun naik kereta komuter di Jakarta membuat saya memahami setidaknya ada 3 besar karakter manusia di sini. 

Pertama, penumpang egois.
Orang  jenis ini biasanya sepanjang perjalanan selalu mengeluh. Marah jika tersenggol, murka ketika terinjak atau teriak jika terdorong. 
Tak segan mereka mengumpat dan memaki dengan kalimat goblok, tolol, setan, anjing, monyet dan babi. Bahkan terkadang menantang duel fisik. Tak peduli akan kesulitan orang lain. Yang penting diri nyaman. Bergaya seakan dia sendiri yang punya kereta.
Kepada penumpang jenis ini saya berdoa semoga mereka  segera pindahlah dari Jakarta.

Kedua adalah penumpang tipe optimis.
Dalam suasana apapun penumpang ini selalu tertawa. Kesulitan yang timbul di kereta dijadikan lelucon. 
Tak ada susah.   Mereka penuh pemakluman dan pemahaman. 
Biasanya tipe penumpang seperti ini naik berombongan, saling kenal satu sama lain, (entah karena satu pekerjaan atau karena  saking seringnya satu gerbong kereta)
Mereka ini selalu berisik, saling cela, saling adu komentar lalu  terbahak. Padahal bisa saja utang mereka banyak, bisa saja tak ada lagi beras di dapur, bisa saja mereka jadi sasaran omelan bos setiap hari. Tapi mereka tetap tertawa.
Kepada penumpang ini saya berdoa semoga mereka selalu bahagia.

Tipe yang ketiga adalah tipe pesimis. 
Mereka diam pasrah. Mau berdiri, terhimpit, terinjak, tergencet, tersikut...terima saja. 
Mereka jarang bicara. Paling sebatas bilang : "Permisi,maaf, Saya mau turun"
Sebenarnya tipe ini juga mungkin ingin mengeluh tapi  cukup dalam hati saja, tidak ditunjukan dalam ekspresi apapun kecuali muka lempeng.
Kepada tipe ini saya berdoa semoga mereka selalu baik-baik saja.

Lalu..saya ini tipe penumpang apa?

Saya merasa, sayalah tipe ke tiga.



Tuesday, 9 June 2015

Si Pengecut

Ada pria dari desa sebelah  yang sering menunggu saya pulang sekolah.
Begitu turun dari mikrobus, penampakannya muncul, lalu berjalan di samping saya dan menanyakan segala hal tentang kakak saya.

Tapi pertanyaan ini dan itu akan berhenti di turunan jalan menuju  perbatasan hutan atau kadang lebih jauh lagi di ujung jembatan gantung yang memisahkan desa kami. Saya duga dia tak pernah punya cukup nyali untuk mengikuti saya sampai ke rumah. Dia hanya pengagum kakak saya dengan level teri jengki.

Nah..suatu hari, karena estrakurikuler berlangsung lama, saya pulang terlambat. Rupanya Si Pria Desa Tetangga  masih menunggu. Tentu saja saya kagum dengan kegigihannya. Kurang lebih  lima jam dia menanti.

Karena hari mulai gelap, saya tentu girang dan berharap dia mau menemani hingga setidaknya seperti biasa ( batas desa, di ujung jembatan gantung).
Tapi weladalah...saya salah kira. Tenyata ia hanya punya keberanian  jelang masuk hutan ..masih jauhhh dari jembatan.

Begitu melihat rerimbunan bambu, ia menghentikan langkah. Berpesan basa-basi agar saya hati-hati.
Waduhhhhhh..... Dasar laki-laki cap ayam betina. 

Tak ada yang bisa saya andalkan selain diri sendiri.
Segera saya berlari sekencang mungkin sampai batas kemampuan saya, naik bukit turun bukit melawan takut, menembus gelap hutan bambu dan semak. Cerita seram yang selama ini menjadi kisah mulut ke mulut berkelebat di kepala. Mulai dari kisah aroma anyir mayat, kuntilanak, hingga harimau beneran dan harimau jadi-jadian.

Keluar hutan, sampailah di jembatan gantung tua super panjang. Saya terhenyak melihat ke bawah. Air bah samar terlihat keruh, bergelombang, seakan siap menelan tubuh ringkih saya.
Duh Gusti Pangeran ..rasanya hamba ingin menangis.

Dengan merapal doa segala doa menyeberanglah saya. Teringat cerita tetangga,  di tengah jembatan, di hari gelap, sering harimau terlihat duduk melintang. Karena itu saya buka mata selebar mungkin. Korek api sisa kemping saya nyalakan untuk memastikan tak ada yang menghalangi langkah gemetar saya. 
Tentu saja mati jatuh dari jembatan dengan mati di terkam harimau sama-sama mengerikan.

Syukurlah...si raja hutan tak tampak. Sayapun sampai di ujung jembatan dengan sehat walafiat, tepat dengan habisnya nyala korek terakhir.

Namun perjuangan belum berakhir. Saya masih harus berlari menaiki bukit untuk mencapai rumah penduduk pertama di batas desa.
Maka dengan tenaga yang tersisa saya menapaki anak tangga tanah berbatu.
Wusss..wusss..wusss
Aihh..leganya ketika saya melihat nyala lentera dari sela dinding kayu rumah warga.
Setidaknya kalau ada hantu blau, akan ada yang mendengar teriakan saya.

Tapi dari sini perjuangan pun masih separuh, karena ada jarak  dua kilo lagi, jalan kaki sampai  ke rumah.


Esoknya..ketika Si Pria  Tetangga Desa kembali berjalan di sisi saya, tak sudi saya berucap satu katapun padanya. Saya berjalan secepat kilat, sehingga kaki pendeknya menyerah tak sanggup mengikuti

Dialah..pria  pengecut yang pertama saya kenal di dunia.


Thursday, 4 June 2015

Dora Di Atas Kereta

Pagi ini sampai stasiun pukul 06.00 WIB.
Celaka dua belas!
Artinya saya harus menggunakan seluruh tenaga hasil sarapan  untuk bisa menyelipkan badan ke dalam Si Ular Besi!

Pada kereta pertama yang saya temui, sudah dipastikan 1000 % kereta penuh. Meski berusaha masuk, tapi ternyata hanya muat badan. Tas saya tidak.

Okelah, sabar subur....saya tunggu kereta berikutnya.

Kereta kedua...kembali badan saya masuk, namun tas berisi bekal makan siang saya tidak.
Sabarnya saya tambah seember.

Kereta ketiga..hanya kaki saya yang masuk. Badan dan tas tidak.
Sabar saya tambah 2 ember.

Kereta keempat, melihat jam yang terus jalan ke arah keterlambatan, maka dengan mengeluarkan tenaga dalam, saya berusaha kuat naik,  tapi ternyata ilmu saya belum cukup.

Terlalu..terlalu.

Sambil menunggu kereta kelima...saya mencoba menggunakan sisa sarapan  untuk berpikir.
Bagaimanapun juga saya harus masuk...masuk..naik..naik!

Dan ketika kepala  kereta muncul di kejauhan saya telah berhasil menemukan trik agar badan dan tas saya bisa terangkut kereta.
Begitu pintu KRL terbuka, segera saya selipkan badan dengan gaya model  iklan pelangsing badan, lalu tas saya turunkan ke kaki, kemudian saya dorong ke celah kaki penumpang lain. Sretttt...set..set. Ahaaaaaa
Horeeeee.....berhasil..berhasil !!

Laksana Dora dengan ranselnya, saya bersorak girang dalam hati. Dan penumpang di peron bertepuk tangan menyaksikan keberhasilan perjuangan saya.

Dan di dalam kereta..di sela sela ketek para penumpang, saya bersumpah...Demi PT KAI Commuterline saya akan diet ketat!
Saya akan memaksa lemak saya menyusut dari 52 kg ke 42 kg apapun caranya...apapun!

Tapi sampai kantor, saya merasa sangat lapar.
Maka melipirlah saya ke Si Abang Tukang Bubur Ayam. Dengan tanpa rasa menyesal apalagi rasa bersalah, sumpah kereta saya langgar.

Dietnya mulai besok saja.
Wkwkkwkw