Ada pria dari desa sebelah yang sering menunggu saya pulang sekolah.
Begitu turun dari mikrobus, penampakannya muncul, lalu berjalan di samping saya dan menanyakan segala hal tentang kakak saya.
Tapi pertanyaan ini dan itu akan berhenti di turunan jalan menuju perbatasan hutan atau kadang lebih jauh lagi di ujung jembatan gantung yang memisahkan desa kami. Saya duga dia tak pernah punya cukup nyali untuk mengikuti saya sampai ke rumah. Dia hanya pengagum kakak saya dengan level teri jengki.
Nah..suatu hari, karena estrakurikuler berlangsung lama, saya pulang terlambat. Rupanya Si Pria Desa Tetangga masih menunggu. Tentu saja saya kagum dengan kegigihannya. Kurang lebih lima jam dia menanti.
Karena hari mulai gelap, saya tentu girang dan berharap dia mau menemani hingga setidaknya seperti biasa ( batas desa, di ujung jembatan gantung).
Tapi weladalah...saya salah kira. Tenyata ia hanya punya keberanian jelang masuk hutan ..masih jauhhh dari jembatan.
Begitu melihat rerimbunan bambu, ia menghentikan langkah. Berpesan basa-basi agar saya hati-hati.
Waduhhhhhh..... Dasar laki-laki cap ayam betina.
Tak ada yang bisa saya andalkan selain diri sendiri.
Segera saya berlari sekencang mungkin sampai batas kemampuan saya, naik bukit turun bukit melawan takut, menembus gelap hutan bambu dan semak. Cerita seram yang selama ini menjadi kisah mulut ke mulut berkelebat di kepala. Mulai dari kisah aroma anyir mayat, kuntilanak, hingga harimau beneran dan harimau jadi-jadian.
Keluar hutan, sampailah di jembatan gantung tua super panjang. Saya terhenyak melihat ke bawah. Air bah samar terlihat keruh, bergelombang, seakan siap menelan tubuh ringkih saya.
Duh Gusti Pangeran ..rasanya hamba ingin menangis.
Dengan merapal doa segala doa menyeberanglah saya. Teringat cerita tetangga, di tengah jembatan, di hari gelap, sering harimau terlihat duduk melintang. Karena itu saya buka mata selebar mungkin. Korek api sisa kemping saya nyalakan untuk memastikan tak ada yang menghalangi langkah gemetar saya.
Tentu saja mati jatuh dari jembatan dengan mati di terkam harimau sama-sama mengerikan.
Syukurlah...si raja hutan tak tampak. Sayapun sampai di ujung jembatan dengan sehat walafiat, tepat dengan habisnya nyala korek terakhir.
Namun perjuangan belum berakhir. Saya masih harus berlari menaiki bukit untuk mencapai rumah penduduk pertama di batas desa.
Maka dengan tenaga yang tersisa saya menapaki anak tangga tanah berbatu.
Wusss..wusss..wusss
Aihh..leganya ketika saya melihat nyala lentera dari sela dinding kayu rumah warga.
Setidaknya kalau ada hantu blau, akan ada yang mendengar teriakan saya.
Tapi dari sini perjuangan pun masih separuh, karena ada jarak dua kilo lagi, jalan kaki sampai ke rumah.
Esoknya..ketika Si Pria Tetangga Desa kembali berjalan di sisi saya, tak sudi saya berucap satu katapun padanya. Saya berjalan secepat kilat, sehingga kaki pendeknya menyerah tak sanggup mengikuti
Dialah..pria pengecut yang pertama saya kenal di dunia.
No comments:
Post a Comment