Tuesday, 22 December 2015

Kemewahan Dalam Daging Sapi Sebesar Dadu Ular Tangga

Teman-teman selalu heran dengan selera makan dan daya tampung lambung saya yang batasnya entah dimana.
Jika ditanya, apa makanan yang paling saya benci..jawabannya, tak ada. Semua saya suka. Asal lapar, semua makanan enak.

Menurut Ibu, sikap tak mengeluh soal makanan, turunan dari Kakek. Tapi saya punya pendapat lain.
Kenapa saya selalu menyantap apapun makanan di meja tanpa protes? Semata-mata ...karena rasa syukur. Syukurlah...ada makanan.

Sejak kecil keluarga kami hidup susah. Makanan tak jauh dari bayam, kangkung, daun singkong,  daun ubi jalar dan sambal, yang sebagian tinggal memetik di kebun. Sesekali Ibu berhutang tempe dan tahu pada tetangga.

Sepulang sekolah, (setelah berjalan kaki belasan kilo meter), saya tak mengeluh meski di meja hanya ada nasi (nasi jagung/nasi beras/nasi tiwul/singkong) dan sambal cabai rawit. Terkadang menu minyak jelantah yang dicampur garam kasar lalu diaduk dengan sepiring nasi menjadi tawaran menarik, (jika perut sudah mulai jenuh terbakar cabai).

Sebenarnya kami memelihara ayam kampung, tentu jika dipotong untuk lauk, habislah sumber uang sekolah kami. Jika telurnya diambil, dari mana generasi penerus sumber rupiah?  Ikan juga melimpah di kolam, tapi lebih bermanfaat jika dijual hidup.
Daging ayam hanya kami makan saat lebaran.

Daging sapi seingat saya pertama kali saya makan saat kakak pertama saya menikah, diusia saya sekolah dasar. Ibu memotong daging sapi kecil sekali, hampir sekecil dadu ular tangga. Alasannya biar semua kebagian. Sayapun  mendapat 4 dadu...rasanya enakkkk sekali. Ibu bahkan  menyimpan sebaskom dadu daging di lemari buku. Sebuah kemewahan yang layak diistimewakan tentunya.

Mungkin sedikit cerita saya di atas bisa menjadi gambaran akan selera makan saya sekarang. Intinya : karena saya pernah merasakan kekurangan makan, maka saya tahu bagaimana harus bersyukur.


Selamat makan teman-teman....jangan lupa berdoa.






No comments:

Post a Comment