Setiap ada pawai 17 Agustus, selalu meninggalkan luka kecil di hati. Bukan karena nasionalisme tinggi tapi justru ego pribadi. Saya sedih karena pasti hanya mendapat peran kecil tak terlihat. Padahal saya menginginkan didandani ala Putri Bali, Putri Jawa, Putri Minang, atau putri daerah mana sajalah....asal saya dandan kece.
Tapi harapan tinggal harapan. Peran saya dari tahun ketahun selalu sama, yaitu jadi atlet tepok bulu.
Kostum saya tidaklah menarik perhatian, tidak berumbai berkilau, cantik aduhai, tapi cukup celana pendek, kaos oblong dan raket pinjaman tetangga. Selain itu di sebelah saya, dari tahun ketahun juga selalu sama yaitu pak guru yang berperan menjadi anak SD (tentu lengkap dengan seragam merah putih, topi dan dasi)
Begitu pawai bergerak mengular, start dari sekolah (dan finis di lapangan tak jauh dari kelurahan), saya yakin, tak ada yang akan mengagumi peran saya, bahkan mereka tak sadar saya ada. Warga yang menonton akan memilih berdecak kagum dengan Rumi si kembang desa yang ayu berbalut busana Bali.
Sungguh saya selalu melihat Rumi dengan iri. Ia begitu cantik, dengan kulit putih yang sempurna. Berbalut kemben gemerlap, punggungnya yang terbuka indah berkilau terpapar sinar matahari. Ronce bunga kemboja dirambut menempel sempurna, sehingga dilihat dari sisi manapun Rumi begitu mengagumkan. Dia bak putri turun dari langit ke tujuh.
Sepulang pawai Rumi juga mendapat perlakuan istimewa, ia akan diantar pulang dengan motor. Sementara saya berjalan tersuruk-suruk seorang diri. Oh .... bagaikan langit dan bumi.
Sayapun jadi benci dengan kulit saya yang coklatnya keterlaluan. Saya ingin berkulit putih dan di kagumi kecantikannya seperti Rumi.
Untunglah pawai penuh siksaan batin itu hanya berlangsung 6 tahun. Begitu masuk SMP pensiunlah saya menjadi atlet gadungan.
Tapi ...dalam hati, hingga kini, saya tetap menyimpan keinginan ikut pawai dengan dandanan busana daerah yang kece aje gile.
No comments:
Post a Comment