Friday, 30 October 2020

Ngabuburit Tahun 1980-an

 


Tahun 1980-an, di desa kami,  anak-anak dan remaja  menunggu waktu berbuka dengan berjalan-jalan menyusuri pinggir Sungai BTW. Sungai ini mengalir di sepanjang jalan penghubung antar desa.

Jam 16.00 WIB, beramai-ramai saya dan teman-teman berangkat menuju pinggir sungai dan menyusuri sepanjang 300 meter.  Jalan tanah berkerikil yang diapit sungai dan sawah menawarkan angin senja sejuk segar . Tak perlu takut ada kendaraan yang melintas. Saat itu di kampung kami paling top orang memiliki sepeda onthel. Jalanan benar-benar milik kami. 

Di sisi kanan dan kiri jalan rerumputan tebal menjadi bantalan duduk yang nyaman. Ditambah ada rerumputan berbunga (entah apa namanya)  yang bunganya bisa kami rangkai menjadi bando cantik.


Sementara sungai menjadi daya tarik tersendiri. Saat haus menahan dahaga puasa, melihat sungai membuat hati menjadi adem. Di sungai yang kadang bening kadang butek, kami bisa melihat warga sekitar mandi, mencuci baju, mencuci sayur dan beras juga buang air besar (ehhhhhh..wkwkwk). Oh ya,sesekali ada warga yang melarung plasenta ke sungai. Sangat menarik menyaksikan plasenta yang diletakan di dalam kendil perlahan menjauh, diiringi doa agar kelak sang anak bisa sukses merantau, mendapat segudang pengalaman dan kekayaan. Aamiin.


Oh iya...saat ngabuburit ini juga digunakan remaja untuk saling tebar pesona dengan gebetan. Tenang, mereka sangat sopan kok, paling hanya sekedar ngobrol ringan atau sekedar saling lirik saja. Dari sekian banyak yang ngabuburit, ada satu remaja putri yang sangat menarik perhatian saya. Ia sangat cantik dan pintar. Saya sangat ingin menjadi seperti dirinya. Ia selalu menjadi pusat perhatian siapa saja. Setiap ia datang, bak putri, saya terlongo mengaguminya. Bahkan kadang saya sengaja berada di dekatnya hanya ingin menyimak apa yang ia bicarakan, atau ingin melihat kulitnya yang putih bening dan rambutnya yang lurus panjang terkepang. Kata-katanya halus lembut tertata. Kadang saya sangat berharap ia menyapa saya, tapi itu tak pernah terjadi.


Eh, bener ngabuburitnya hanya cari angin saja? Iya. Tak ada tukang jualan layaknya ngabuburit di perkotaan. Makanan buka dan sahur ya makanan rumahan. Kolak buatan emak kami masing-masing tiada duanya. Jadi ngabuburit kami  benar-benar hanya duduk-duduk di pinggir jalan melihat sungai dan sawah. Sesekali jika beruntung bisa melihat barisan burung Kuntul di pematang. 

Istimewa. 


No comments:

Post a Comment