Monday, 18 October 2021

Teman Bicara Kelas Dewa

Saya memiliki tetangga, tak tahu siapa nama aslinya, tapi orang-orang memangilnya Mbah Urut. Kemampuan pijatnya di level master.

Saat memijat, ia tak banyak bicara, lebih tepatnya tahu kapan harus bicara.  Ia mempersilakan "pasiennya" jika ingin tidur. Atau jika "pasiennya" ingin ngobrol ia akan punya obrolan menyenangkan.

Tarifnya tak mahal, baginya yang penting punya pelanggan setia itu yang utama.



Diluar urusan pijat memijat ia tetangga yang menyenangkan. Obrolan dengannya akan jadi obrolan level dewa, tanpa cela, tanpa membicarakan keburukan orang lain.....hanya kebaikan. 


Hidupnya bersahaja. Tinggal di kamar kontrakan satu ruangan ukuran 4 kali 3 dengan anaknya usia 30-an tahun.

Mba Urut mengaku menikah muda, usia 16 tahun. Lalu hamil dan  bercerai tak lama setelahnya. Ia pun berjuang sekuat baja membesarkan anaknya dikejamnya ibu kota. Awalnya ia menjadi pembantu rumah tangga seorang pengusaha Jepang, lalu pensiun dan memilih menjadi tukang urut setelah anak laki-laki semata wayangnya mampu bekerja menggantikan posisinya.


Hingga suatu saat ia di vonis menderita kanker di leher rahimnya.


Sejak itu pembicaraan kami menjadi sendu. Di sela obrolan ia kerap meminta maaf dan menangis. Ia merasa hidupnya tak lama lagi. 

Pengobatan di rumah sakit sempat ia dijalani. Tapi kemudian memutuskan berhenti dan pulang  kampung,  pulang ke ibunya yang telah renta. Setahun kemudian saya mendapat kabar ia tiada. Kanker membunuhnya dengan cepat.


Saat mengingat Mbah Urut, terbayang saat ia sedang mengemas bawang putih ke dalam kantong plastik. Ia bilang setiap hari selama sepekan menyisihkan 5 ribu rupiah untuk membeli bawang putih. Dan bawang putih itu akan ia kirim ke Ibunya. Bawang putih terbaik, dari hati yang putih, untuk Ibu terkasih.



Dan kini setelah 10 tahun berlalu sejak kematiannya, saya masih mengenangnya sebagai teman bicara sekelas dewa.


No comments:

Post a Comment