Monday, 12 January 2015

Cerita Mie dan Biskuit


Pertengahan tahun 1980-an, mie instant adalah makanan mewah di kampung saya. Hanya orang-orang berada yang mampu membeli dengan mudah.

Kami sekeluarga sangat jarang menyantap mie cantik ini. Jikapun ada, satu bungkus, dimakan beramai-ramai (dengan kuah yang banyak), sehingga bisa menjadi santapan lezat bercampur nasi.


Dimata saya yang masih anak-anak, bungkus mie instant sangat menarik. Maklumlah, saya jarang melihat makanan kemasan. Sehingga jika Ibu memasak mie, kemasannya akan saya simpan dengan hati-hati laksana menyimpan emas batangan.
Bahkan demi mendapatkan bungkus mie lebih banyak, saya rela ke memungutinya di tempat sampah RT sebelah.

Deretan gambar petunjuk memasak di belakang kemasanlah yang saya incar, saya gunting dengan rapi lalu saya simpan dalam kemasan plastik.
Jika sudah terkumpul banyak, sesekali saya membuka "harta karun" saya, menjejerkan dengan runut, dan saya pandangi gambar mie dalam mangkuk, sambil membayangkan aromanya. Hmmmmmm.

Kebiasaan saya memunguti kemasan mie di tempat sampah tetangga, tentu membuat Ibu saya murka. Tapi, diam-diam, saya tetap melakukannya.

Dan tempat sampah yang paling saya sukai, ada di belakang rumah Mbah Carik, orang terkaya di kampung. Di sini tak hanya kemasan mie melimpah tapi juga kemasan biskuit.

Senang sekali melihat kemasan biskuit yang mereka buang, karena wadah plastik didalamnya (bentuknya aneka rupa sesuai bentuk biskuitnya, bulat, segipanjang dan segitiga) sungguh sedap dipandang. Saya tak berani membayangkan kelezatan biskuit-biskuitnya, karena bagi saya kala itu mustahil mencicipi.
Sampah kemasan biskuit saya bawa pulang sebagai wadah indah ketika bermain pasar-pasaran.


Kini...puluhan tahun berlalu. Kemasan mie dan biskuit tak lagi saya kagumi. Mie instant dan biskuitpun tak lagi jadi barang mewah, tapi justru penyelamat jutaan perut orang-orang sederhana.


Sudah makan mie dan biskuit hari ini?




Sumber foto : Wikipedia

No comments:

Post a Comment