Monday, 19 January 2015

Seribu Tak Bakal Miskin

Sebagai pengguna transportasi umum Jakarta, saya sering di suguhi "hiburan" mengerikan dari rupa-rupa pengamen jalanan.
Ada yang serius menggunakan alat musik sungguhan, mulai dari perkusi, gitar, suling, hingga biola. Tapi ada juga yang bermodal ala kadarnya seperti botol plastik berisi ratusan butir beras, atau tutup minuman soda yang dipaku ke gagang kayu.

Suara janganlah ditanya...hanya 1 % bersuara bagus, sisanya...siap-siaplah sumpal telinga.
Ada yang lemah mendayu-dayu..ada yang keras menggelegar.

Jika dulu mereka hanya mengamen di bus, kopaja atau metromini, mereka kemudian memperluas wilayah jajahan ke angkutan kota.
Bayangkan, tanpa pengamen pun angkot  sudah penuh sesak..eh ditambah lagi satu penumpang gelap yang menyanyi melolong-lolong. Suara mereka membentur -bentur atap angkot menyiksa semua penumpang.

Merekapun berasal dari segala usia, bayi, anak, remaja, dewasa hingga manula. Jenis kelamin juga..pria, wanita dan waria.
Sebagian menyanyi dengan kesadaran penuh (akan suara jeleknya), sebagian lagi menyanyi dengan setengah teler mabuk lem.
Sebagian sopan mengucapkan terimakasih, sebagian lagi ngeloyor begitu saja seakan uang yang mereka terima uang emaknya.

Saya yakin...tak banyak orang yang mampu mereka hibur.
Saat pagi, yang ada dipikiran penumpang, adalah bagaimana tiba secepat mungkin sehingga terhindar dari omelan boss. Saat sore penumpang sudah begitu lelah sehingga butuh tenang dan tidur. Bukan malah di todong dan diganggu berisik musik tak asik.

Saya pribadi tak butuh dihibur dengan suara sember, lalu ditodong dengan kasar agar memberi mereka sedkit uang seribuan. Jika ada yang memberi uang limaratus atau dalam bentuk koin seratus dua ratus, mereka dengan kasar menertawakan lalu membuang. 

Semboyan mereka.. "Memberi uang seribu tak akan membuat penumpang miskin"
Dalam hati saya mengumpat..."Gundulmu...kami bekerja keras. Berangkat pagi pulang malam juga demi mengumpulkan uang seribu demi seribu, dan kalian seenaknya saja tinggal menyorongkan tangan"

Mereka pun akan dengan lantang berkata" Daripagi, kami belum makan, beri kami uang untuk membeli sepiring nasi, kami lapar Pak...kami lapar Bu " (teriak mereka sambil menghisap sebatang rokok)
Dalam, hati sayapun menjawab : "Gundulmu, saya juga dari pagi belum sarapan, saya juga lapar, tapi saya bukan pemalas"

Lalu mereka ada pula yang mengancam dengan tipuan murahan, mengaku baru keluar dari penjara karena kasus pembunuhan. Dari pada mereka merampok dan menjambret atau mencopet mereka lebih memilih mengamen.
Atau ada juga yang mengaku sudah melamar ke sana kemari namun ditolak.

Tapi dari semua tipuan diatas...yang paling menggemaskan adalah ketika ada pengamen "tunawicara"yang nekad bernyanyi. Mereka bermodal musik tepuk tangan..menyanyi aaauuuaauuu..aaauuuaauu. aaa uuuu..aaa uuu

Begitu tak ada satupun penumpang memberi uang...ia turun dengan mengumpat... "A****g kalian semua...."

Hmmmm...dia langsung bisa bicara..

Ketika sebagian orang memilih  bekerja  masuk gorong-gorong, mengeduk lumpur sampah dan melawan terik matahari gali kabel tutup kabel... mereka memilih mengamen. 

Lebih terhormat manakan?







No comments:

Post a Comment