Ketika Pak Lik menangkap seekor burung hantu, saya protes. Bahkan sempat berniat melepaskan diam-diam, tapi selalu gagal.
Kenapa tidak dibiarkan saja disarangnya yang nyaman? Kenapa harus repot mencarikan umpan? Toh di alam dia lebih jago mencari makan dibanding kita manusia kan?
Duh...membayangkan wajah burung bermuka seram itu murung, saya tidak bisa tidur.
Atas nama perikehewanan, tak tega melihat Si Hantu kelaparan, saya terima permintaan Pak Lik untuk mencarikan pakan. Sehingga, sepulang sekolah, berkeliaranlah saya di sawah, menangkap katak kecil juga belalang dan jangkrik.
Mendapatkan katak lebih mudah di musim tanam, dimana genangan air menjadi tempat katak mungil berpesta pora. Sedangkan mendapatkan belalang lebih gampang disetengah musim jelang panen ketika batang dan daun padi masih menghijau.
Sementara, untuk mendapatkan si jangkrik bisa musim apa saja namun butuh kesabaran lebih,
karena harus menunggu jangkrik mengerik, sehingga sarangnya mudah ditemukan.
Ibu selalu mengingatkan jangan sampai saya salah menggali lubang ular.
Jika umpan sedang melimpah, saya senang- senang saja. Tapi ketika katak dan serangga malang itu sulit di dapat, saya ngomel dalam hati. Kenapa harus saya yang repot ? Kenapa tidak di lepas saja?
Tak sampai enam bulan...Si Hantu mati.
Saya menangis sedih. Apakah saya salah memberi makan?
Tidak...saya memberinya belalang dan katak seperti hari-hari sebelumnya.
Saya mengira..Si Hantu kesepian...dia rindu terbang menembus malam, rindu berburu belalang, dan amat sangat rindu dengan sarangnya yang nyaman.
Rindu teramat sangat, mengantarnya pada kematian.
Rindu teramat sangat, mengantarnya pada kematian.
Sejak saat itu, saya benci melihat orang yang memeliharan burung dalam sangkar.
No comments:
Post a Comment