Jauh sebelum selfie jadi wabah. Saya sudah sering memfoto diri saya sendiri. Bukan untuk gaya..tapi memang tidak ada yang bisa dimintai tolong memotret
Saat itu tomsis atau tongsis belum ada. Jadi terpaksa pakai tangsis (tangan narsis). Dan karena jarak hanya sejangkauan lengan, hasilnya memang mengerikan, kadang tampak muka kegedean, hidung kebesaran, atau bibir ndower sebelah, bahkan muka tampak setengah.
Untuk apa foto itu? Bukan untuk pamer atau mengagumi diri sendiri, tapi murni untuk dokumentasi.
Jangan sampai saya mati, tidak meninggalkan foto. Paling tidak untuk dicetak di buku Yasinanan suatu saat nanti.
Sumpah...demi Tuhan..demi Tuhan, saya foto selfie bukan untuk narsis. Bukan agar di kagumi dan dipuji. Saya malah tersinggung kalau ada yang memuji saya cantik...karena saya tahu..itu fitnah kejam, itu bohong.
Soal foto memfoto saya memang jauh dari percaya diri. Konon, umumnya, jika di depan kamera 70 persen kepercayaan diri seseorang hilang, kalau saya 99,99999 persen kepercayaan diri musnah.
Karena itu sulit menemukan foto saya dimasa kecil. Bahkan saya tidak punya foto ketika bayi. Foto masa kecil satu-satunya ada di rapot SD. Masa akhir SD hingga SMP saya ingat ada beberapa lembar, tapi ketika beberapa bulan lalu saya coba minta tolong kakak saya carikan..ternyata kertas filmnya sudah tidak mampu melawan waktu.
Di usia SMA saya juga jarang foto. Paling di rapot dan KTP. Kala itu jika ada kamera saya lebih memilih menjauh. Selain malu, minder, saya juga tidak tahan dengan blitz, karena akan membuat mata saya berkedip dan hasil akhirnya...rupa saya tercetak merem.
Dan sekitar 2 tahun lalu, iseng saya mengisi form kuis di salah satu website majalah wanita ternama F****a. Hadiahnya make over dan mejeng dihalaman kecantikan jadi model amatir.
Dan entah atas pertimbangan apa (mungkin dipilih yang paling buluk), sayapun menang lantas disodori jadwal pemotretan.
Wuihhhh... saya bengong melebihi sapi ompong. Mimpi apa ya?
Wuihhhh... saya bengong melebihi sapi ompong. Mimpi apa ya?
Tapi saya diharuskan mentato alis .Weladalahhhh..ini nasib kok begini amat. Kesalon tidak pernah, sekali kesalon langsung disuruh tato alis.
Seumur umur saya tidak pernah dandan.Lah nanti kalau tiba- tiba alis tipis saya menebal kaya alis Krisdayanti apa tidak aneh. Bisa -bisa orang belum lihat saya tapi sudah lihat alis saya duluan. Opo ya ndak nggegirisi?
Menimbang dengan segala timbangan..akhirnya saya putuskan untuk menolak mentato alis, yang berarti melayanglah kesempatan saya mejeng di majalan terkenal di seantero Indonesia itu. Sebenarnya...agak sayang, karena kata orang kesempatan tidak datang dua kali.
Yang pasti sampai sekarang alis saya tipis -tipis saja, setipis uang dikantong saya.
Dan soal foto..tak apa..saya sudah punya foto selfie yang kelak bisa dipasang di buku Yasinan.
Sekali lagi bukan untuk narsis, pamer atau riya, tapi untuk kenang-kenangan bagi yang saya tinggalkan.
Karena pada akhirnya...saya akan mati bukan?
Catatan :
Foto diatas adalah satu-satunya foto selfie yang layak di pertontonkan. Dan yang menang di majalah F.
Catatan :
Foto diatas adalah satu-satunya foto selfie yang layak di pertontonkan. Dan yang menang di majalah F.
No comments:
Post a Comment