Wednesday, 11 February 2015

Diam Adalah (Bukan) Emas


Saya memiliki paman, Songamad namanya. Orangnya kurus pendek, sangat pendiam. Saking pendiamnya sering kami tak menyadari dia ada. 
Tapi meski pendiam, ia berhasil menikahi seorang saudara jauh.

Istrinya  cerewet dan pekerja keras, berlawanan dengan Songamad yang hidupnya 90 persen diam juga pemalas. Pernikahan mereka menghasilkan 3 anak, 2 laki-laki, 1 perempuan.
Ujung dari pernikahan mereka bisa ditebak.
Bubar.

Saat Songamad berkunjung ke rumah, Bapak kadang enggan menemui. Karena ia bisa duduk di depan Bapak saya dengan sangat lama, tapi tak berbicara apa-apa.
Songamad hanya bersuara ketika Bapak bertanya. Itupun suara yang sangat pelan. Bibirnya hanya ia gerakan untuk menjawab pertanyaan, menyeruput teh dan sesekali untuk menguap.
Saya kira Bapak sering mati gaya alias kehabisan bahan pertanyaan.  Seperti guru yang membacakan soal ulangan, komunikasi hanya terjadi searah. Bapak bertanya Songamad menjawab. Dimata saya Bapak  terlihat seperti seorang  pemandu talkshow.

Sebenarnya saya kadang kasihan. Songamad tak memiliki teman. Orang-orang cenderung menghindar, bahkan juga anak dan istrinya. 
Saya bayangkan dunianya sepi. Mulut terkunci, jalan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Dulu jaman Presiden Soeharto masih bapak pembangunan, ia sempat ikut transmigrasi ke Lampung beserta sejumlah paman saya yang lain. Songamadpun mendadak kaya, memiliki tanah berhektar-hektar dengan ilalang setinggi tubuhnya.
Harusnya tanah gratis pemberian pemerintah itu ia garap. Tapi ketika orang lain bekerja keras membabat ilalang, ia tak mau melakukan hal serupa, malah  memilih menjual seluruh tanah dan rumah lalu pulang kembali ke desa. Ia produk program transmigrasi yang gagal.


Kini 30an tahun berlalu, Songamad hidup sendiri. Istri dan anaknya memilih kembali ke wilayah transmigrasi, mengumpulkan getah karet, dari lahan... yang dulunya milik mereka. 

Pelajaran hidup yang sangat berharga.



Sumber Foto : forum kompas

No comments:

Post a Comment