Pernah saya mengikuti pendidikan dasar pencinta alam, seminggu. Tiga hari terakhir, mempelajari teknik survival, alias bertahan di alam liar.
Kami belasan orang dilepas di hutan pinus tanpa perbekalan makanan, hanya membawa jas hujan dan senter.
Kami belasan orang dilepas di hutan pinus tanpa perbekalan makanan, hanya membawa jas hujan dan senter.
Jarak masing-masing peserta tidak boleh berdekatan. Kami tidak boleh saling berkomunikasi dengan siapapun.
Soal makanan bukan masalah bagi saya, karena saya pemakan segala. Buah beri hutan, aneka dedaunan dan batang-batang semak muda juga umbi-umbian bisa saya makan dengan riang gembira. Untuk minum saya mengais embun dan air sisa hujan yang terkumpul di dedaunan.
Tapi yang sungguh harus mati-matian saya hadapi adalah... kegelapan.
Beuhhh..jika magrib menjelang dan suara tonggeret mulai bersahutan..mengerutlah saya di bawah jas hujan yang sudah saya jadikan tenda ( bivak). Tak ada yang bisa saya lakukan selain sesekali menyalakan senter dan mendengarkan serangga adu suara.
Bahkan saya berdoa...teruslah bernyanyi jangkrik dan tonggeret.
Terngiang ucapan Bapak saya..."Jika serangga tiba-tiba terdiam, itu pertanda setan lewat".
Terngiang ucapan Bapak saya..."Jika serangga tiba-tiba terdiam, itu pertanda setan lewat".
Walahhhhh....
Maka..sepanjang malam sayapun menggulung badan, memeluk lutut dan membaca doa sampai tertidur.
Siang hari saya isi dengan berkeliaran mencari makan, lalu leyeh-leyeh di bawah pohon, lalu memunguti bunga-bunga pinus yang berjatuhan untuk sekedar membunuh rasa bosan.
Sesekali elang yang melintas tanpa suara, menjadi hiburan mengasyikan.
Hari ketiga, saya merasa otak mulai tak beres. Hujan turun lebat.. sambil meringkuk menahan dingin, saya membayangkan pecel lele, dan semangkuk bakso hangat pedas mengepul.
Saya bayangkan pula mandi air hangat, dengan shampoo dan sabun yang harum, baju kering licin tersetrika, lalu tidur di atas kasur empuk dan hangat.
Semua bayangan itu kontras dengan kondisi saya yang sudah tiga hari tak mandi, baju basah, dan perut hanya terisi berlembar-lembar pucuk semak.
Hujanpun semakin deras. Bahkan lebatnya daun pinus tak mampu meredam curah air, sehingga titik air dengan keras menghantam bivak saya yang ringkih. "Rumah" sayapun porak poranda.
Telapak tangan mulai kebas dan keriput terpapar dingin. Anehnya saya merasa sangat mengantuk.
Mendadak terdengar suara kuda.
Apakah saya mulai gila? Apakah saya keracunan daun hutan sehingga berhalusinasi?
Hujan seketika berhenti. Matahari bersinar hangat, dan olalala...mak gedubrak...ada pangeran berkuda di depan saya. Ia begitu tampan dengan kulit bersinar dan senyum ramah, lalu dengan sigap mengulurkan tangan dan membawa saya pergi.
Semua berlangsung dengan cepat..dalam hitungan detik.
Apakah saya telah benar-benar gila?
Apakah pangeran ini hantu penunggu hutan pinus? Ataukah saya sudah mati, dan arwah saya digondol penunggu entah kemana?
Walah..meski saya pernah berkhayal dinikahi pangeran..tapi kok sekarang setelah saya bersama pangeran, malah saya tidak happy?
Saya hanya ingin pulang...ingin makan pecel lele sambel pedas.
Sayapun memohon agar kuda berhenti.
"Tolong bawa saya pulang..bawa saya pulang"
Pyar...sekejap semua cahaya mememudar...temaram..dingin. Saya buka mata lebar-lebar.
Weladalah.....ternyata bukan pangeran yang kini ada di depan saya, tapi tiga orang senior mengelilingi saya sambil tertawa-tawa.
"Aduh biyung....hujan begini kamu masih bisa tidur. Dasar tukang molor. Bangun...segera kembali ke pos. Survival sudah habis"
Yaelah..beneran kan..pangerannya cuman mimpi...!!!!
Sumber foto : www.jembrananews.com dan wikipedia
Sumber foto : www.jembrananews.com dan wikipedia
No comments:
Post a Comment