Sewaktu
usia SD, saya dipercaya Bapak untuk memelihara marmut. Hewan (yang
menurut saya setengah kelinci dan setengah tikus) ini sungguh
menggemaskan. Mereka makan tiada henti sehingga saya harus bolak balik
mencari pakan. Merekapun beranak pinak dengan cepat, sehingga kandang
diperluas. Kucing imut kami ikut menjaga dari gangguan tikus yang
kerap memangsa anak marmut (baru lahir).
Sungguh kucing yang baik.
Tapi lama kelamaan saya kewalahan menyediakan rumput. Apalagi dimusim hujan. Rumput yang basah membuat marmut diare.
Jadi
saya terpaksa memberi mereka makan daun pisang atau tanaman lain yang
berdaun lebar. Kenapa? Karena daun pisang dan sebangsanya mudah
dikeringkan dengan lap kain.
Bayangkan jika saya harus mengelap daun rerumputan satu persatu. Repottt....
Xixixi
Hingga
kemudian tiba-tiba semua berubah. Sepulang dari menonton kuda lumping
di dusun sebelah, saya kaget...kandang marmut telah kosong. Saya
panik..kemana mereka?
Ternyata
tanpa lebih dahulu meminta persetujuan saya,marmut-marmut imut itu
telah di jual dan beberapa diantaranya di potong untuk dimasak.
Tentu saja saya protes keras. Marmut yang membuat saya rela menghabiskan sore dengan mencari rumput, lenyap begitu saja.
Melihat
sebagian dari mereka sudah berbalut bumbu dan santan di atas meja,
sungguh tak akan tega memakannya. Rasa lapar di perutpun menguap
berubah menjadi pilu di ulu hati.
Tapi dengan santai Bapak dan Ibu saya berkata : "Sekarang kamu tak perlu repot mencari rumput, kamu bisa belajar dengan tenang"
Oh...sedihnya.
Dari balik pintu dapur..saya pandangi kandang, sabit dan keranjang dengan mata berlinang.
Sumber foto : merdeka.com
Sumber foto : merdeka.com
No comments:
Post a Comment