Tuesday, 26 January 2016

Catatan Tentang Marmut



Sewaktu usia SD, saya dipercaya Bapak untuk memelihara marmut. Hewan (yang menurut saya setengah kelinci dan setengah tikus) ini sungguh menggemaskan. Mereka makan tiada henti sehingga saya harus bolak balik mencari pakan. Merekapun beranak pinak dengan cepat, sehingga kandang  diperluas. Kucing imut kami  ikut menjaga dari gangguan tikus yang kerap memangsa anak marmut (baru lahir).
Sungguh kucing yang baik.

Tapi lama kelamaan saya kewalahan menyediakan rumput. Apalagi dimusim hujan. Rumput yang basah membuat marmut diare.
Jadi saya terpaksa memberi mereka makan daun pisang atau tanaman lain yang berdaun lebar. Kenapa? Karena daun pisang dan sebangsanya mudah  dikeringkan dengan lap kain. 
Bayangkan jika saya harus mengelap daun rerumputan satu persatu. Repottt....
Xixixi

Hingga kemudian tiba-tiba semua berubah. Sepulang dari menonton kuda lumping di dusun sebelah, saya kaget...kandang marmut telah kosong. Saya panik..kemana mereka? 
Ternyata tanpa lebih dahulu meminta persetujuan saya,marmut-marmut imut itu telah di jual dan beberapa diantaranya di potong untuk dimasak.
Tentu saja saya  protes keras. Marmut yang membuat saya rela menghabiskan sore dengan mencari rumput, lenyap begitu saja.

Melihat sebagian dari mereka sudah berbalut bumbu dan santan di atas meja, sungguh tak akan tega  memakannya. Rasa lapar di perutpun menguap berubah menjadi pilu di ulu hati.

Tapi dengan santai Bapak dan Ibu saya berkata : "Sekarang kamu tak perlu repot mencari rumput, kamu bisa belajar dengan tenang"

Oh...sedihnya.  
Dari balik pintu dapur..saya pandangi kandang, sabit dan keranjang dengan mata berlinang.



Sumber foto : merdeka.com

No comments:

Post a Comment