Kematian itu pasti. Justru kehidupanlah yang penuh ketidak pastian.
Dan Tuhan merahasiakan kapan kita mati, (kecuali para terpidana mati), agar kita bisa menikmati hidup
Bayangkan jika kita sudah tahu kapan persisnya kita mati, pastilah kita tak lagi bisa merasa tenang menjalani hidup...menangis, ketakutan dan merana, bahkan bisa gila.
Menurut Ibu saya, mencari materi seakan kita akan hidup selamanya, itu sudah dilakukan oleh sebagian besar orang. Tapi beribadah seakaan akan mati besok, tak semua orang bisa melakukannya.
Saya pribadi memandang kematian adalah hal paling menyedihkan dalam hidup. Betapa tidak?
Orang yang tadinya ada di hadapan kita, berbicara, tertawa, tersenyum
menangis, marah, mendadak harus diam, lalu pergi dan tak pernah kembali.
Pengalaman kematian pertama yang harus saya hadapi adalah kematian kucing kesayangan.
Mungkin bagi sebagian orang adalah hal sepele. Tapi bagi masa kanak-kanak saya, sungguh serasa separuh hidup melayang.
Masih teringat jelas, pagi itu ketika menemukan si kucing terbujur kaku di gigit anjing liar, saya menangis pilu sesenggukan.
Sambil menggali liang kubur, saya tahu Bapak saya merasakan hal yang sama, hanya saja orang dewasa kadang begitu pintar menyimpan duka.
Kematian kedua adalah kakek saya yang pendiam. Meski secara fisik, tak terlalu dekat dengan cucu-cucunya, tapi saya tahu beliau mencintai kami dengan caranya. Sekali pernah beliau berkata " Saya menanam semua pohon-pohon ini, bukan untuk saya, tapi untuk anak cucu saya...karena saya akan segera mati. Dan inilah yang akan saya wariskan"
Kakek saya benar. Hingga kini aneka pepohonan tegak berdiri dan berbuah untuk kami. Setiap menatap pohon-pohon itu, saya melihat cinta kakek yang kokoh.
Kematian ketiga adalah nenek saya.
Kami sangat dekat. Beliau adalah tempat saya belajar segala kebijaksanaan yang ada di bumi ini. Bahkan ketika beliau sudah pikun, hal yang paling sering ditanyakan hampir setiap hari adalah " Apakah Mugi sudah bekerja, dimana kah? "
Saya tak akan pernah melupakan tatapan "perpisahan" kami. Tatapan yang saya artikan berusaha mengingat saya, tapi tak bisa. Adalah sangat menyakitkan bukan, ketika naluri mengingat, tapi memori melemah?
Kematian ke empat adalah kematian Bapak. Pria yang setiap pagi menggendong saya ke taman kanan-kanak. Pria yang mengajak saya bermain lumpur di kolam ikan. Pria yang mengajarkan saya menghadapi kerasnya kehidupan. Pria satu-satunya dalam hidup saya yang rela mengorbankan apa saja dan berbuat apa saja demi saya bahagia.
Ia-lah satu-satunya pria di dunia yang tak pernah menyakiti saya.
Bahkan setelah bertahun-tahun kematiannya, Bapak kerap datang dalam mimpi saya, seakan ingin memastikan saya baik-baik saja. Ia menjaga putri terkecilnya dengan caranya. Cara Bapak sejati.
Bagi saya, kematian memberi pelajaran bahwa hidup itu sangat berharga tiap detiknya.
Tak peduli sepahit apapun jalanmu...hidup itu indah.
No comments:
Post a Comment