Dipertengahan tahun 80-an, SD saya nun jauh di kampung terpencil, memiliki tukang kebun. Tapi jika saya amati, dia lebih tepat disebut tukang bel. Karena sehari- hari yang dia kerjakan hanyalah memukul bel tanda masuk, tanda istirahat dan tanda pulang.
Semua tugas kebersihan, murid-murid yang mengerjakan bergantian, mulai dari membersihkan kelas hingga mencabuti rumput di halaman.
Bahkan kami pula yang harus mencuci gelas minum guru dan mengambil air untuk membuat teh. Kala itu sumur sekolah airnya tak layak minum (karena berkali-kali ditemukan bangkai ular di dalamnya), jadi persediaan air minum harus diambil dari mata air di pinggir hutan bambu. Jaraknya memang tidak jauh dari sekolah, tapi kami harus menuruni undakan tanah yang curam.
Bergantian setiap hari, murid kelas enam melakukan pekerjaan ini, yang seharusnya dilakukan orang dewasa..eh si tukang kebun.
Ada dua ember besar yang kami bawa. Satu untuk membawa gelas kotor untuk dibersihkan, satu untuk mengangkut air .
Perjuangan ke sumber air, baik turun maupun naik sama- sama melelahkan, apalagi ketika hujan turun, kami harus telanjang kaki agar jari kaki kami bisa menghunjam tanah sehingga tidak terpeleset.
Dan saya pernah tak sengaja melakukan kesalahan yang membuat saya takut setengah mati.
Saat membawa ember gelas, ada dua gelas yang tertumpuk dan tak bisa dilepaskan.
Saya sungguh panik. Segala cara telah dicoba, mulai dari menarik dengan keras, memasukan air sabun agar licin, menggunakan air panas, juga mencoba dilepas di dalam air.
Hasilnya..nihil.
Takut dimarahi dan disalahkan, saya sembunyikan dua gelas bertumpuk itu di lemari gudang.
Selama seminggu saya gelisah menyimpan rasa bersalah. Teman-teman yang tahu pun, menakut-nakuti saya. Mereka mengatakan...saya harus mengganti.
Tak tahan di bully, akhirnya sambil menangis sedih saya ceritakan tragedi gelas bertumpuk itu ke Ibu.
Ibupun menyelamatkan saya dengan gagah berani. Beliau menemui tukang kebun, menceritakan kesalahan saya, meminta maaf dan siap mengganti.
Tapi rupanya pihak sekolah memahami dan tak menyalahkan.
Beberapa hari kemudian, saya melihat dua gelas pecah di tempat sampah. Rupanya tukang kebun....eh tukang bel mencoba memisahkan gelas tumpuk itu, namun akhirnya pecah.
Sejak itu, saya tak mau mencuci atau membawa gelas. Saya pilih mengangkut air.
Betapapun itu sangat berat.
No comments:
Post a Comment