Gunung pertama yang saya daki, Sindoro di Jawa Tengah.
Bagi pemula, gunung ini terbaik karena tidak terlalu tinggi (3136 meter) dengan jalur pendakian yang relatif aman.
Seperti harapan pendaki lainnya, saya ingin sampai di puncak ketika matahari terbit. Tapi.....100 meter jelang puncak, kaki saya sudah benar-benar sulit di gerakan.
Sempat ingin menyerah, tapi cerita apa yang akan saya bawa pulang jika berhenti disini?
Dengan menguatkan hati sayapun merangkak.
Hingga akhirnya, seperti bayi berusia 8 bulan, dengan dua tangan dan dua lutut, sampailah saya di puncak.
Amboiiiii
Walaupun ketinggalan melihat matahari bangun, tapi saya masih bisa melihat matahari ketika dua meter bangkit dari "kasur"-nya.
Hahahaha
Saya bersimpuh lama. Bersujud syukur. Rasa lelah hilang. Dipuncak Sindoro yang luas seperti lapangan bola, saya berlari girang, melompat-lompat tinggi dengan niat menggapai awan.
Lalu untuk mengusir lapar, saya dan kawan-kawan memasak mie. Sedangkan coklat di tas sudah mengeras bak kayu jati. Tak mampu saya menggigitnya. Aihhh..ini sarapan paling indah. Seperti dilangit. Awan yang bergerombol serasa mudah di gapai sejangkau tangan.
Hanya 15 menit kami di puncak. Setelah puas memandang hamparan bunga abadi edelweis, kami harus segera turun jika tidak ingin terkena badai.
Saya kira turun lebih mudah dibanding naik. ...hahahhah...salah besarrrrr. Lutut saya rasanya mau lepas menahan beban. Jadi, ketika ada turunan tanpa bebatuan, saya meluncur saja bak main di perosotan.
Sampai di kaki gunung saya menengadah...mengagumi gunung cantik ternyata tak pernah lagi saya daki....hingga kini.
Dan..sedihnya..Sindoro adalah gunung pertama dan terakhir yang saya naiki. Karena setelahnya, orang tua saya tak lagi mengijinkan saya mendaki.
Impian berkunjung ke saudaranya Sindoro, yaitu Sumbing, tak pernah tercapai.
Sekarang..boro-boro naik gunung... jarak 500 meter saja, saya naik ojek...Capek !
Sungguh terlalu !
Saya menjadi begitu pemalas.
Sumber foto : www.travelblog.tictab.com
No comments:
Post a Comment