Friday 27 February 2015

Manusia Biasa

Di masa kecil dan remaja, sering saya bermimpi bertemu pejabat ini, pejabat itu, presiden anu, dan presiden ono.
Dimata dan batin saya kala itu,  mereka sangat mengagumkan. Sempurna, hebat luar biasa.

Kemudian nasib memberi saya jalan.
Saya bekerja di kondisi yang memungkinkan saya bertemu orang-orang penting dari beragam bidang,  posisi dan  profesi

Ternyata, setelah bertemu mereka langsung, mereka bukanlah orang-orang istimewa. Mereka adalah manusia biasa yang sebagian harus bekerja keras dan cerdas untuk sampai pada puncak karir tertingginya, lalu sebagian lagi hanya  karena beruntung.

Dulu, saya kira mereka  berwatak, bersikap dan  berpenampilan  tanpa cela. Tak pernah terbayang  kalau mereka juga sama seperti saya, kadang nguap, ngupil dan buang gas.
Tak terbayangkan mereka berbaju kusut, berketombe, atau kadang lupas sikat gigi.
Mereka pastilah berpenampilan mantap.

Tapi saya salah. Orang-orang yang terlihat hebat dan penting itu, ternyata hanyalah manusia biasa yang memang ditakdirkan untuk berada pada posisi lebih tinggi sehingga punya kewajiban harus mengurus hajat hidup orang banyak.
Mereka bisa ngomong jorok, judes, jutek, gugup, grogi, galau, salah, marah dan lelah. Karena pejabat  juga manusia.
Disitu kadang saya merasa sedih, karena satu persatu saya harus mencoret mereka dari daftar orang-orang yang sempurna.



Sayangnya, saya belum pernah bertemu Spiderman, James Bond, Iron Man, dan Batman.
Jika mungkin saya bertemu mereka, hanya satu keinginan saya.
Apa itu?

Mendengar mereka ...kentut


Sederhana dan manusiawi bukan?


Sumber foto : cinemablend.com

Jika

Guru Bahasa Indonesia saya ketika SMP namanya Jika Astutika. Perawakannya  tinggi besar, berambut keriting dan pendiam.

Nama uniknya berkibar ketika cerita pendek karyanya muncul di majalah remaja terbitan lokal, MOP. Bahkan kehidupan pribadinya (suka dengan siapa, pacaran dengan siapa dan menikah dengan siapa) juga menjadi perbincangan ala bisik-bisik tetangga di kalangan murid.


Saya diam-diam mengagumi  kemampuan menulis Pak Jika dan bertekad untuk menyamai.

Jadi  mulailah saya menulis cerita pendek dan puisi.
Satu persatu hasil karangan, saya kirim ke berbagai redaksi majalah dan koran.

Setiap majalah MOP terbit (bulanan) saya harap-harap cemas. Membayangkan nama saya tercetak disana, membuat seluruh tulang saya terasa lumer. Saya bayangkan decak kagum yang akan saya terima.

Tapi khayalan itu tak pernah menjadi nyata. Cerita pendek saya, hanya jadi cerita pendek yang saya baca sendiri setiap hari.
Angan menjadi cerpenis..saya kubur di hati.

Rupanya peruntungan saya bukan di cerpen,melainkan di puisi. Usaha keras menggali sisi romantisme mendayu, akhirnya membuahkan hasil. Dua puisi saya bisa terbit di majalah anak lokal.
Atas capaian ini, Pak Jika memberi saya nilai 9 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di rapot. Bahkan nilai itu akan tetap ia berikan jika pun  saya tak ikut ujian.

Selain itu, beberapa lomba baca puisi saya jajal. Dengan menggadaikan rasa percaya diri menjadi rasa tidak tahu diri, saya naik turun panggung tanpa hasil kemenangan. Kecewalah saya, sehingga saya merasa..lebih baik keingiingan menjadi sasatrawan setara Taufiq Ismail saya tamatkan saja.

Kini puluhan tahun berlalu, saya mendengar Pak Jika sudah menjadi kepala sekolah.
Saya tak bisa membayangkan seperti apa penampilannya sekarang.
Apakah masih suka menulis, apakah masih mengantar muridnya mengikuti lomba baca puisi?

Jika suatu saat nanti kami bertemu, pastinya  saya  merasa malu, karena saya hanyalah produk gagal.
Tulisan saya sejauh ini lebih banyak mengenai catatan belanja sayur mayur dan sejumlah tagihan.

Maafkan saya ya Pak Jika.


Sumber foto :


Ketika Anak Kita Di Bully (Lagi)

Hari ini Keni pulang sekolah dengan luka gigitan. Bukan gigitan serangga atapun hewan buas, tapi gigitan teman sekelasnya, Vio.



Lagi...ini untuk kedua kalinya Keni mengalami hal serupa ( sebelumnya ketika di TK ia mendapat luka yang sama di dibagian dada dengan pelaku Dean, teman sekelasnya).
Selain itu, di lutut juga ada luka memar yang ketika saya tanyakan, pelakunya ternyata Vio juga. Bahkan keni mengaku pula dipukul Vio di bagian tulang belikat (syukurlah saya cek di bahu tidak ada luka memar maupun lecet). Selain itu Dean (di SD kembali menjadi teman kelas Keni ) dan Vio juga sering mendorong. Saya ngeri membayangkan seandainya Keni di dorong di dekat tangga atau jendela.



Ketika saya tanya kenapa Vio menggigit Keni, dengan runut keni bercerita. 
Semua berawal letika Vio membuang penghapus keni keluar jendela, kearah kolam renang. Keni membalas dengan mengambil penghapus Vio, lalu Viopun marah dan mengigit lengan Keni
Untungkah kejadian itu dilihat oleh guru yang kemudian menolong Keni.
Ketika dijemput, guru menyampaikan hal tersebut ke Bapaknya Ken. Luka Ken pun mendapat pertolongan pertama.

Beberapa minggu sebelumnya Keni pernah mogok sekolah. Ketika saya tanya alasannya kenapa, malah menangis tersedu-sedu sambil bilang "Keni tak mau mengadu Bu..tak mau"
Setelah saya bujuk-bujuk..ternyata dia sehari sebelumnya dipukul Vio, dilapangan dan tak ada guru yang melihat. Ketika saya tanya kenapa Keni tidak melapor ke guru, Keni kembali manjawab.. "Keni bukan pengadu Bu".

Mungkin sebagian orang menganggap, ini hanyalah peristiwa biasa, kenakalan anak-anak. Dan lukapun tak seberapa. 
Tapi apakah mereka akan berpikir sama jika hal tersebut menimpa anak-anak mereka?

Rupanya saya harus kembali terus mengingatkan Keni bahwa kekerasan yang ia terima harus dilawan. Ia harus berani memukul dan menggigit balas. Karena membela diri bukanlah kenakalan, tapi keharusan.

Dan saya menulis ini bermaksud untuk mengingatkan, jangan sampai anak  kita menjadi korban maupun pelaku kekerasan. Karena anak-anak tetaplah anak-anak. Dan tugas kita mengingatkan mereka yang salah dan menguatkan mereka yang kalah.


Thursday 26 February 2015

Salah Orang

Saat menuju kolam renang umum,  saya berpapasan dengan pengendara motor, seorang pria yang saya kira Agung, kakaknya Ani, teman sebangku saya. Wajah mereka sama persis.

Tatapan kami bertabrakan. Lalu seperti adegan slow motion dalam film, pria itupun menghentikan motornya.
Maka terjadilah dialog singkat, yang mana pertanyaan kami saling bertumbukan, demikian pula jawabannya
"Mas Agung ya?"
"Teman Ani ya?"
Masing-masing dari kami bersamaan  menjawab "iya".
Bah,,benar-benar ini bukan rekayasan tapi sungguh terjadi.

Setelah itu kami sama-sama mengangguk hormat dan melanjutkan niat masing-masing. Saya kembali berjalan ke pintu masuk kolam renang, dan pria itu pun pergi entah kemana.


Setelah renang, keluar dari kamar bilas, weladalah..Brak. Saya menabrak seorang pria. 
Dan benar-benar seperti adegan film romantis Hollywood yang penuh dengan kebetulan, kali ini saya betul-betul kembali bertemu dengan pria itu.

"Mas Agung?"
"Kamu teman Ani yang ketemu tadi kan?"
Kamipun masing-masing kembali menjawab "Ya".
Walah,,,kok dialognya sama kaya yang tadi. Tidak kreatif sekali.

Sayapun mengangguk hormat, lalu mundur perlahan dan membalikan badan, sebagai isyarat pamitan.

Tapi baru beberapa langkah, pria bernama Agung itu menyusul, dan memberondong saya dengan banyak pertanyaan antara lain, mau kemana, dengan siapa, dan terakhir menawarkan bantuan mengantar pulang.
Tentu saja saya tolak dengan halus.
Lah..wong kost saya lumayan jauh. Lagipula saya sedikit heran, kok tiba-tiba kakak sahabat saya ini mau bertegur sapa dengan saya. Sebelumnya saat bertemu kami hanya saling mengangguk.

Sayapun berjalan cepat keluar komplek kolam renang. Tapi rupanya Agung begitu baik hati. Dia mengikuti saya dan memaksa mengantar saya pulang.
Saya tentu masih menolak. Dan Agung terus mendesak. Dari kejauhan kami seperti orang yang sedang bertengkar.
Malu melihat pandangan orang-orang, maka sayapun menyerah. 

Sepanjang perjalanan pulang, kami tak banyak berbincang. 
Lagipula ngobrol dimotor tidaklah nyaman. Suara harus adu kuat dengan hembusan angin. Seingat saya, saya hanya bertanya " "Kok Ani tidak ikut, Mas"
Yang dia balas juga dengan pertanyaan, "Kok renang tidak mengajak Ani?

Esoknya, disekolah tentu saja saya  bercerita ke Ani soal pertemuan dengan Agung kakaknya.

Ternyata oh ternyata, Ani malah kebingungan. Bagaimana bisa kakaknya bertemu dengan saya? Kakanya sedang ke Semarang. 

Nah loh.. Jadi siapa yang kemarin mengantar saya sampai ke kost?

Rupanya,, ini adalah kisah sepasang kaka beradik yang namanya sama-sama Agung dan Ani. Juga kisah dua Agung   yang wajahnya sama persis.

Dan saya kira Agung yang mengantar saya juga punya kebingungan yang sama,  " Lah siapa yang saya antar kemarin?"

Wkwkwkkw

Wednesday 25 February 2015

Shio Kambing (Congek)

Terlongo saya membaca kutipan artikel berikut ini :

Tahun 2015 adalah tahun Kambing. Menurut kepercayaan Tiongkok,  10 dari orang yang ber-Shio Kambing hanya satu yang akan bernasib baik.
Orang dengan Shio Kambing memiliki karakteristik jinak, ditakdirkan untuk jadi pengikut bukan pemimpin. Karena itu pula, orang Tiongkok pantang memiliki anak di tahun Kambing. Mereka tidak keberatan anaknya bershio apa saja...asal bukan Kambing.

Weladalah...saya ber-Shio Kambing. Apakah karena hewan bertanduk ini nasib saya menjadi buruk?
Bukankah kambing adalah hewan yang berjasa menghidupi sekian orang, mulai dari peternak, pedagang daging, penjual sate, perajin wayang dan juga perajin beduk ?
Kambing juga membahagiakan ribuan penyuka sop, tongseng, steak dan sate.
Pantaskah hewan ini dibenci?

Alamak...tentu saja saya tidak bisa memilih di tahun apa saya lahir. Pokoknya yang penting lahir sehat sempurna. Soal hitung-hitungan shio...orang tua saya tidak paham.


Bisakah saya menjadikan shio saya sebagai kambing hitam dari ketidaksuksesan dalam hidup saya? Apakah shio saya adalah penyebab saya tidak memiliki rumah seharga 4 M, mobil mewah, jet pribadi, deposito dengan bunga ratusan juta perbulan dan bertumpuk-tumpuk emas, intan berlian?
Shio sayakah penyebab saya masih saja tinggal di rumah sewa? Hmmm...saya merinding membayangkan kambing yang menempel di shio saya.
Pantas saja..sekeras dan secerdas apapun saya bekerja..saya tidak kaya.
Benar-benar kambing congek..!

Dan saya makin terlongo setelah membaca kalimat terakhir dalam artikel.
Begini:
Contoh orang ber-Shio Kambing adalah : Bill Gates, Steve Jobs, Mark Twain, Jay Chou,  Zhang Ziyi.

Ehemmmm....mungkin mereka ini termasuk satu yang sukses. Sedangkan saya masuk bagian dari 9 yang  apes. Sepertinya  inilah yang disebut :
Dari 10 orang ber-Shio Kambing hanya satu yang sukses.

Weladalah aduh biyungggg...tulunggggg

Maka sayapun teringat lagu jadul yang dinyanyikan penyanyi lawas Helen Sparingga yang judulnya Antara Hitam Dan Putih.
Kurang lebih begini liriknya :
"Ingin ku pulang ke rahim ibu..dan tak pernah terlahir lagi....dan tak pernah terlahir lagi"

Tuesday 24 February 2015

Beauty And The Beast



Kenapa wanita cantik banyak memiliki pasangan yang jauh dari kategori tampan?
Apakah ini musibah?

Menurut teman saya yang jelita, ia memilih pria bukan dari fisiknya. Karena ganteng itu hanya terlihat dalam sekali dua kali pandang. Setelah ribuan kali dilihat..orang tampan akan berubah menjadi biasa-biasa saja. Apalagi jika fisik rupawan tidak dibarengi dengan perilaku yang baik...ya kelaut sajalah .

Hmmm..tentu saja ini kabar baik bagi pria berparas biasa...jangan minder bro..kejarlah wanita yang secantik mungkin, tapi sebelum melancarkan aksi gebet menggebet..pastikan perilaku mas bro tak ada yang minus. Perbanyaklah kasih sayang, perhatian, dan bumbui dengan romantisme. Percayalah..dengan tiga hal itu, wanita manapun akan dengan mudah mas bro taklukan. Mas bro tak akan kalah menarik dibandingkan Mas Brad Pitt

Yakinlah..bahwa fisik bukan jaminan seseorang akan di cintai selama-lamanya. 
Ganteng tapi suka memukuli pasangannya, maka saya yakin, dimata pasangannya ia akan tampak seperti ganteng-ganteng serigala.

Tengoklah infotainment. Banyak pasangan artis tampan cantik, toh akhirnya cerai juga. Itu bukti sahih bahwa fisik sempurna tidak banyak berguna untuk menjaga cinta. 
Benar kan kata teman saya..ganteng itu hanya ada dalam sekali dua kali pandangan.. selebihnya 99% adalah apa yang ada di dalam otak dan hati lah yang menentukan.
Bahkan teman saya berani memberi tips : carilah.pasangan yang awalnya kamu lihat biasa-biasa saja, tapi dari hari ke hari dia makin terlihat istimewa, bukan pasangan yang di awal terlihat istimewa namun pada akhirnya menjadi biasa-biasa saja.

Masih menurut teman saya, pria tampan yang sadar akan ketampanannya akan cenderung merasa terlalu percaya diri. Ibarat kata : Masih banyak wanita-wanita diluar sana yang bisa dengan mudah ditaklukan.
Sehingga pasangan si tampan ini harus berusaha lebih keras untuk menjadi lebih baik dan lebih cantik dibanding wanita manapun di dunia ini. Capek kan?

Jadi, disini saya menarik sedikit kesimpulan :
Ganteng, sedikit ganteng, maupun tidak ganteng..pada akhirnya datang dari hati. Bukan dari fisik. 

Jadi untuk pria-pria diluar sana...yang merasa tampan rupawan bak pangeran, jangan dulu merasa bangga. 
Bisa saja tampangmu tak membuat seorang wanitapun jatuh cinta... 





Monday 23 February 2015

Agung

Agung yang pertama kali saya kenal dalam hidup  adalah anak tetangga jauh. Saya SD, dia TK.  Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari Agung ini, karena bertegur sapapun tak pernah.
Lalu Agung kedua yang saya tahu adalah Alexsander Agung dari Makedonia, dekat Yunani. Ia wara wiri dalam buku sejarah saya. Kadang muncul dalam soal ujian. Agung ini hanya bisa saya bayangkan dalam pakaian Raja, berwajah serius jarang bercanda.

Agung berikutnya adalah Gunung Agung. Muncul dalam pelajaran Geografi dan sangat mudah di hafal karena terletak di Bali


Agung yang ke 4 adalah kakak dari sahabat SMA saya, Ani, anak Pak Lurah. Agung ini di mata saya ganteng sekali.
Agung ke 5 yang saya kenal adalah pria yang tak sengaja saya tegur karena saya kira dia Agung kakaknya Ani (wajahnya sama persis bak pinang dibelah kampak).

Agung ke 6  adalah toko buku Gunung Agung. Kadang saya kunjungi untuk sekedar menggirup aroma buku-buku baru yang  tak mampu saya beli.
Agung ke 7, adalah Lenteng Agung, nama kelurahan tempat saya kuliah, kost dan kemudian menetap hingga sekarang.

Agung ke 8 juga nama dari kakak sahabat saya kala kuliah, Anita. Agung ini sesekali iseng saya kirim salam, dan mendapat tanggapan  sengit dari sahabat saya " Kakak gue udah punya pacar. Gue ogah punya kakak kaya lo" dan saya jawab juga dengan sengit. "Siapa juga yang mau punya adik kaya lo". Hahhahah
Agung ke 9 adalah nama politikus yang  jadi menteri dan setelah tak jadi menteri  bercita-cita memimpin partai berlambang beringin.
Agung yang ke 10 adalah nama pria yang menjadi suami saya.
Agung ke 11 adalah nama manager di kantor saya.

Demikian sejumlah Agung yang saya kenal.
Saya yakin ada ribuan bahkan mungkin jutaan Agung lain.

Sesuai dengan artinya yang berarti besar,  semoga saja kalian semua bisa  berbuat hal-hal besar, berguna untuk diri sendiri..keluarga dan lingkungan.

Amin


Sumber  gambar ;
bali.panduwisata.id


Sunday 15 February 2015

Pangeran Di Hutan Pinus


Pernah saya mengikuti pendidikan dasar pencinta alam, seminggu. Tiga hari terakhir, mempelajari teknik survival, alias bertahan di alam liar. 
Kami belasan orang dilepas di hutan pinus tanpa perbekalan makanan, hanya membawa jas hujan dan senter.
Jarak masing-masing peserta tidak boleh berdekatan. Kami tidak boleh saling berkomunikasi dengan siapapun.

Soal makanan bukan masalah bagi saya, karena saya pemakan segala. Buah beri hutan, aneka dedaunan dan batang-batang semak muda juga umbi-umbian bisa saya makan dengan riang gembira. Untuk  minum saya mengais embun dan air sisa hujan yang terkumpul di dedaunan.
Tapi yang sungguh harus mati-matian saya hadapi adalah... kegelapan.
Beuhhh..jika magrib menjelang dan suara tonggeret mulai bersahutan..mengerutlah saya di bawah jas hujan yang sudah saya jadikan tenda ( bivak). Tak ada yang bisa saya lakukan selain sesekali menyalakan senter dan mendengarkan serangga adu suara.
Bahkan saya berdoa...teruslah bernyanyi jangkrik dan tonggeret. 
Terngiang ucapan Bapak saya..."Jika serangga tiba-tiba terdiam, itu pertanda setan lewat".
Walahhhhh....
Maka..sepanjang malam sayapun menggulung badan, memeluk lutut dan membaca doa sampai tertidur.

Siang hari saya isi dengan berkeliaran mencari makan, lalu leyeh-leyeh di bawah pohon, lalu memunguti bunga-bunga pinus yang berjatuhan untuk sekedar membunuh rasa bosan.
Sesekali elang yang melintas tanpa suara, menjadi hiburan mengasyikan.

Hari ketiga, saya merasa otak  mulai tak beres.  Hujan turun lebat.. sambil meringkuk menahan dingin, saya membayangkan pecel lele, dan semangkuk bakso hangat pedas mengepul.
Saya bayangkan pula mandi air hangat, dengan shampoo dan sabun yang harum, baju kering licin tersetrika, lalu tidur di atas kasur empuk dan hangat.
Semua bayangan itu kontras dengan kondisi saya yang sudah tiga hari tak mandi, baju basah, dan perut hanya terisi berlembar-lembar pucuk semak.



Hujanpun semakin deras. Bahkan lebatnya daun pinus tak mampu meredam curah air, sehingga titik air dengan keras menghantam bivak saya yang ringkih. "Rumah" sayapun porak poranda. 

Telapak tangan mulai kebas dan keriput terpapar dingin. Anehnya saya merasa  sangat mengantuk.
Mendadak terdengar suara kuda.
Apakah saya mulai gila? Apakah saya keracunan daun hutan sehingga berhalusinasi?

Hujan seketika berhenti. Matahari bersinar hangat, dan olalala...mak gedubrak...ada pangeran berkuda di depan saya. Ia begitu tampan dengan kulit bersinar dan senyum ramah, lalu dengan sigap mengulurkan tangan dan membawa saya pergi.
Semua berlangsung dengan cepat..dalam hitungan detik. 
Apakah saya telah benar-benar gila?

Apakah pangeran ini hantu penunggu hutan pinus? Ataukah saya sudah mati, dan arwah saya digondol penunggu entah kemana?

Walah..meski saya pernah berkhayal dinikahi pangeran..tapi kok sekarang setelah saya bersama pangeran,  malah saya tidak happy?
Saya hanya ingin pulang...ingin makan pecel lele sambel pedas.
Sayapun memohon agar kuda berhenti.
"Tolong bawa saya pulang..bawa saya pulang"

Pyar...sekejap semua cahaya mememudar...temaram..dingin. Saya buka mata lebar-lebar.

Weladalah.....ternyata bukan pangeran yang kini ada di depan saya, tapi tiga orang senior mengelilingi saya sambil tertawa-tawa.
"Aduh biyung....hujan begini kamu masih bisa tidur. Dasar tukang molor. Bangun...segera kembali ke pos. Survival sudah habis"

Yaelah..beneran kan..pangerannya cuman mimpi...!!!!



Sumber foto : www.jembrananews.com dan wikipedia

Friday 13 February 2015

Buang, Pungut



Saya tersenyum geli melihat spanduk berisi ajakan pungut sampah.
Logikanya..kalau ada sampah yang dipungut, berarti ada sampah yang dibuang. Ini artinya, orang boleh saja membuang sampah sembarangan, toh nanti ada yang memungut.
Begitu?

Menurut saya, lebih baik spanduk diisi ajakan tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan lebih baik lagi, diisi larangan keras membuang sampah sembarangan disertai ancaman hukuman. Jadi orang tidak perlu repot memungut sampah.

Ketika sampah dibuang sembarangan oleh orang mereka yang tinggal dibantaran kali.. saya bisa memahami, karena  itu berbanding lurus dengan level pendidikan dan sosial ekonomi mereka. Tapi saya amati, sampah di Jakarta dibuang sembarangan bukan saja oleh si papa dan si menengah, tapi dibuang juga oleh si pemilik kendaraan mewah yang seenak saja membuang sampah dari jendela mobil.  
Jadi...tingkat pendidikan dan level kemakmuran seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku. Tidak jaminan orang pintar dan kaya memiliki kesadaran tidak membuang sampah sembarangan. 





Saya pribadi jika melihat orang membuang sampah sembarangan, maka seganteng/secantik apapun itu orang, akan turun nilainya 99%. 



Saya kira perilaku membuang sampah itu terkait kualitas mental, bukan terkait level intelektual. Lah wong ternyata di gunungpun banyak sampah. Tentu saja yang membuang sampah itu orang yang mengaku pecinta alam kan? Bukan abang somay yang jualan di sana.

Sayapun teringat pertanyaan teman kuliah  ketika berkomunikasi dengan saya setelah belasan tahun hilang kontak. " Apakah kamu masih suka memungut sampah di jalanan"
Saya hanya tersenyum masam. Inginnya saya sudah berhenti melakukan itu (berarti sudah tidak ada lagi sampah yang dibuang sembarangan)

Sejauh ini..itu masih sebuah mimpi.


Thursday 12 February 2015

Mba...Minta Uang.


Ketika saya  berdiri dipinggir jalan menunggu angkutan kota, seringkali ada yang menghampiri. Kadang hanya untuk sekedar menanyakan alamat. Tapi yang paling sering mereka meminta uang.

Karena  muka saya jauh dari orang berduit, maka saya kira alasan mereka memilih saya adalah tampang saya yang mudah dikibuli.

Seorang pria paruh baya pernah meminta uang dan mengaku  korban hipnotis. Sambil menyodorkan dompet kosong, ia berkata harus jalan kaki pulang ke Bogor. Ia butuh uang 5ribu saja untuk membeli minum. Membayangkan jarak Bogor yang alamak jauhnya, saya berikan uang sejumlah uang yang ia minta. Lalu pria itu pergi secepat kilat tanpa mengucapkan terimakasih.

Adapula nenek-nenek, kakek kakek yang menyodorkan mangkuk aluminium dengan merapal doa segala doa. Begitu uang saya berikan mereka akan membungkuk berterimakasih seakan saya memberi mereka segunung emas.

Lalu pernah seorang pemuda (mengendarai motor keluaran terbaru ) yang dengan sopan melepas helm lalu bertanya saya hendak kemana. Wuih..tentu saya sempat heran..ini orang perhatian sekali. Tapi keheranan saya langsung sirna ketika ia berkata " Kalau mba mau ke arah Pasar Minggu, ikut saya saja. Saya butuh uang 10 ribu untuk bensin mba." Gubrakkk. Wong saya mau ke Pulo Gadung.
Dan dengan menelan ludah, saya sodorkan uang sepuluh ribu. 
Pemuda unyu-unyu itupun berterimakasih sembari  berjanji akan mengembalikan. Tapi anehnya ia pergi tanpa menanyakan alamat atau nomor telepon saya. Lalu bagaimana ia akan mengembalikan uang saya? 

Pernah juga, seorang ibu-ibu menghampiri saya, meminta uang untuk ongkos ke Sudirman. Dengan enteng ia meminta lima ribu saja. Aih..apa dia kira saya anaknya ya?

Juga ada anak berseragam sekolah, meminta uang 2ribu dengan alasan ongkos yang diberikan orang tuanya terjatuh dari sakunya yang berlubang (sembari menunjukan kantung saku yang robek)

Lalu, ada  bapak-bapak yang meminta uang ke saya dengan alasan untuk ongkos pulang kampung ke Banten. "Tolong beri Bapak uang 30ribu saja Neng"
Weladalah...

Lain waktu, ada juga yang mengaku harus membawa anaknya yang demam ke rumah sakit, tapi tak punya uang. Ia pun meminta sumbangan dari saya seikhlasnya.

Bahkan pernah pria bertampang Korea menghampiri saya, lalu berkata " Habis..uang habis. Bantu saya dengan beli kalung ini, 50 ribu saja. " 
Saya melongo, memandangi kalung mirip tasbih yang ia keluarkan dari sakunya yang besar.

Kadang saya berpikir, mereka itu apakah dari acara tv berjudul "Toloooooong" ?
Ketika saya tanyakan itu pada teman saya, dengan muka serius tanpa ekspresi bercanda ia berkata " Bukan acara Toloooong, tapi Toloooool. Begitu tololnya elu sehingga mau aja di kibuli. Ini Jakarta. Banyak orang menghalalkan segala cara untuk mendapat uang. Jadi orang jangan terlalu baik. Puluhan tahun di Jakarta, otak lo masih begitu-begitu saja. Emang lo kira semua orang di Jakarta ini semua sebaik orang - orang di kampung udik lo. Mikir...bla bla bla. " Panjanglah omelan teman saya.

Lhoooo..kalau semua orang berpikir seperti teman saya...siapa yang akan membantu saya jika kecopetan, dihipnotis atau kehabisan bensin?

Emakkkkk... tolong saya!!!

Wednesday 11 February 2015

Diam Adalah (Bukan) Emas


Saya memiliki paman, Songamad namanya. Orangnya kurus pendek, sangat pendiam. Saking pendiamnya sering kami tak menyadari dia ada. 
Tapi meski pendiam, ia berhasil menikahi seorang saudara jauh.

Istrinya  cerewet dan pekerja keras, berlawanan dengan Songamad yang hidupnya 90 persen diam juga pemalas. Pernikahan mereka menghasilkan 3 anak, 2 laki-laki, 1 perempuan.
Ujung dari pernikahan mereka bisa ditebak.
Bubar.

Saat Songamad berkunjung ke rumah, Bapak kadang enggan menemui. Karena ia bisa duduk di depan Bapak saya dengan sangat lama, tapi tak berbicara apa-apa.
Songamad hanya bersuara ketika Bapak bertanya. Itupun suara yang sangat pelan. Bibirnya hanya ia gerakan untuk menjawab pertanyaan, menyeruput teh dan sesekali untuk menguap.
Saya kira Bapak sering mati gaya alias kehabisan bahan pertanyaan.  Seperti guru yang membacakan soal ulangan, komunikasi hanya terjadi searah. Bapak bertanya Songamad menjawab. Dimata saya Bapak  terlihat seperti seorang  pemandu talkshow.

Sebenarnya saya kadang kasihan. Songamad tak memiliki teman. Orang-orang cenderung menghindar, bahkan juga anak dan istrinya. 
Saya bayangkan dunianya sepi. Mulut terkunci, jalan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Dulu jaman Presiden Soeharto masih bapak pembangunan, ia sempat ikut transmigrasi ke Lampung beserta sejumlah paman saya yang lain. Songamadpun mendadak kaya, memiliki tanah berhektar-hektar dengan ilalang setinggi tubuhnya.
Harusnya tanah gratis pemberian pemerintah itu ia garap. Tapi ketika orang lain bekerja keras membabat ilalang, ia tak mau melakukan hal serupa, malah  memilih menjual seluruh tanah dan rumah lalu pulang kembali ke desa. Ia produk program transmigrasi yang gagal.


Kini 30an tahun berlalu, Songamad hidup sendiri. Istri dan anaknya memilih kembali ke wilayah transmigrasi, mengumpulkan getah karet, dari lahan... yang dulunya milik mereka. 

Pelajaran hidup yang sangat berharga.



Sumber Foto : forum kompas

Tuesday 10 February 2015

Masker.... Please


Belakangan ini, memakai masker anti debu sudah jadi trend di Jakarta. Bentuk, warna, bahan kualitas dan fungsinya beragam. Demikian juga dengan alasan, niat atau maksud pemakainya. Ada yang murni untuk urusan kesehatan menangkal polusi ibukota (menghindari debu, asap knalpot, mencegah tertular dan menularkan flu batuk),  adapula yang bertujuan mencegah menghirup bau tak sedap,  untuk penyamaran, lalu adapula yang bertujuan untuk menutup mulut  menganga ketika mengantuk di bangku kereta.

Saya pribadi tidak ikut trend. Tak ada selembarpun masker saya punya. Entahlah rasanya tak nyaman memakai penutup mulut dan hidung.

Tapi meski tak memakai, saya suka mengamati mereka yang bermasker. Sesekali saya menebak-nebak apa alasan orang menggunakannya.
Jika penumpang kereta dan mengantuk, itu paling  mudah ditebak,  pasti tujuannya menutup mulut menganga. Jika ibu dengan anak, bisa dipastikan alasan kesehatan. Jika wanita sexy bohai semlohai saya duga itu artis yang tak ingin dikenali atau digoda lelaki.
Jika pria perlente, mungkin ia pejabat negara yang bersahaja. Jika maskernya bergambar/berbentuk jenaka, bisa dipastikan ia penuh selera humor dan berniat menghibur siapa saja.


Saya pribadi sering merasa kesulitan saat berkomunikasi dengan orang bermasker. Suara mereka sering salah saya tangkap. Jika saya tersenyum pada mereka, sayapun jadi tak bisa melihat apakah senyum saya berbalas?
Tapi saya akan berterimakasih pada orang flu dan batuk yang mau bermasker. Saya nilai mereka adalah orang yang bertanggunjawab untuk tidak menularkan virusnya pada orang lain.

Ah..apapun alasanya, bukan urusan saya.

Cantik Itu Mahal


Saya adalah orang yang sangat tidak percaya dengan kalimat : Cantik tak harus mahal. 
Bohong besar...
Yang betul adalah cantik itu mahal karena tampil memoles  fisik bukanlah perkara mudah. Butuh dana jutaan hingga milyaran.

Ada sebagian wanita yang bisa mewujudkanya dengan hasil keringat sendiri. Sebagian lagi dari hasil keringat pasangan.

Sebagai gambaran, ada koruptor yang mentransfer uang 25 juta ke selingkuhannya, dengan alasan untuk keperluan suntik putih. 
Lha..untuk ukuran saya uang 25 juta saya miliki hanya jika ngutang KTA.

Kadang saya melihat tayangan di televisi, artis anu sedang perawatan anu, ono dan ini. Mulai dari perawatan rambut, ujung kuku hingga ketek.
Biayanya tentulah tidak cukup ratusan ribu. 

Jujur sering saya bayangkan, saya adalah mereka itu. Keluar masuk salon dan spa..dengan hasil akhir memiliki kecantikan memukau. Kulit licin hingga lalat tak kuasa mendarat mulus, sampai ujung jari kaki yang mengkilap laksana bayangan bulan diatas air. 

Tapi saya harus terima kenyataan bahwa satu-satunya salon yang kadang saya kunjungi adalah salon cukur rambut pria, ketika memotong rambut anak saya dengan biaya cukup 10 ribu saja.

Agak aneh ketika ada orang cantik yang bilang..."Ah..saya tidak perawatan kok..biasa saja. Saya tidak pernah kesalon, saya malas ke salon"
Lhaaaa...secantik-cantiknya orang, jika tidak melakukan perawatan, saya jamin, ia akan buluk seperti saya.
Justru saya lebih menyukai artis atau siapapun mereka yang berkata.." Ya..saya habiskan uang untuk perawatan di salon sebulan sekian juta" 
Itu adalah perkataan jujur anti munafik yang patut saya hargai.
Karena pernyataan mereka itu menyadarkan saya..bahwa wajarlah saya buluk..karena saya tidak punya uang sebanyak itu.
Jadi ini semacam..pembenaran untuk diri saya sendiri.
Semacam alasan sebagai jawaban kenapa saya tidak masuk kategori cantik.

Manager Hebat


Dulu, saya sering tercenung di depan tukang sayur. Memandangi aneka rupa bahan lauk pauk dengan pikiran mengambang.
Apa yang harus lebih dulu saya beli? Semua harus mempertimbangkan selera perkepala. Anak-anak, suami dan asisten rumah tangga. Kalau selera saya sendiri sih tak perlu dirisaukan. Saya pemakan segala, tanpa pilih-pilih rasa. Asal lapar, semua enak.

Karena itu, terkadang saya berdiri agak lama, memperhatikan ibu-ibu lain berbelanja. 
Tenyata, berdasarkan pengamatan ekor mata saya, mereka hanya  menghabiskan 20 ribu untuk lauk pauk aneka rupa.

Sayapun pelajari triknya.
Begini :
Bawang putih dan merah 2ribu
Cabai dan tomat 2ribu
Ikan 14 ribu.
Sop-sopan ( bahan sayur sop) 2 ribu

Atau begini :
Brokoli 4ribu
Tempe 2 ribu
Pepaya 9ribu
Taoge 1 ribu
Bawang merah bawang putih 3rb
Pas kan 20ribu?
Saya timbang-timbang nilai  gizinya luar biasa sehatnya. Ada protein hewani, vitamin dan serat sayuran juga buah, lalu antibiotik alami (bawang merah dan putih).

Hmmm..dimata saya, ibu-ibu ini adalah manager-manager hebat. Mereka tidak kuliah managemen, tapi menjadi terlatih ditempa keadaan yang memaksa mereka mencari pola untuk bertahan. 

Mereka berbelanja sayur bukan diruang berpendingin, mereka tidak butuh daging beku (karena yang mereka beli ikan hidup) sehingga semua bisa dijamin kesegarannya
Mereka tak butuh barcode, tak butuh kantong plastik berlogo, tak butuh gesek kartu, tak butuh gengsi. Yang terpenting gizi keluarga tercukupi.

Merekalah guru-guru hebat yang membuat saya percaya..makanan bergizi tak harus mahal.

Friday 6 February 2015

Malaikat Juga Tahu



Malaikat juga tahu saya tidak jago masak.
Tapi setelah 9 tahun menjadi ibu rumah tangga,  masakan saya secara bertahap mulai layak dinikmati. Yah..meski masakan standar tumisan, sup, aneka menu panggangan dan goreng ikan. Sedangkan untuk masakan kelas maestro seperti rendang dan opor, terpaksa saya bergantung ke bumbu instant.

Tentu saja yang namanya instant, meskipun di iklannya dikampanyekan seperti buatan ibu, seperti buatan nenek, atau selezat ulekan bumbu sendiri...tetap saja dilidah saya hasilnya adalah rasa mesin pabrik dan segepok pengawet.

Nah, bagaimana kalau membuat aneka kue?
Urusan ini saya sudah nyaris memvonis diri pada tahap : kurang cakap luar biasa.
Semakin sering mencoba, sepertinya saya hanya menghasikan catatan buruk kegagalan demi kegagalan. Baik kue kering, setengah basah maupun basah akan membuahkan deretan kue keras, kue gosong, kue bantat.
Bahkan membuat Sifon instant pun saya gagal. Padahal hanya tinggal aduk dan panggang. Sungguh akut ketidakbakatan saya.

Hingga kemudian hari minggu kemarin  Si Ken merengek di buatkan Sponge Coklat merk Pondan.
Sambil memegang mixer, saya memprediksi nasib buruk akan menimpa kue ini..kemungkinan bantat..ataupun bagian dalamnya setengah lumer.
Harap-harap cemas saya berkali -kali mengintip si kue dari kaca oven.
40 menit pertama, kue terlihat mengembang penuh. Sambil merapal doa sayapun menusukan lidi ke dalam gembungan kue....alamak..dalamnya masih cair.
Apakah ini pertanda kue kembali gagal?

Sambil memegang tasbih merapal istighfar, mohon ampun agar kutukan kue gagal, Tuhan hilangkan...saya tambahkan waktu panggang 20 menit.

Hasilnya....
Amboiii..empukkk semua...!!!!
Akhirnya...kue pertama saya. Olala...

Apakah ini karena kehebatan Pondan?Ataukah ketidakmampuan saya mulai berkurang?

Wednesday 4 February 2015

Taman Tanjung di LA



Taman yang dulunya tanah kosong ini jarang diminati. Selalu sepi meski ada sarana olahraga dan taman bermain anak. Kenapa? Saya kira karena taman ini berada di perempat jalan yang sangat padat kendaraan, sehingga akan sangat berbahaya ketika anak kecil musti menyeberang demi bermain di sana.
Taman  tidak bersentuhan langsung dengan pemukiman padat penduduk, dan berada di pojok perempatan TB Simatupang  yang ramai. Belum lagi warga harus pula menyeberang rel untuk menjangkau taman.


Taman Tanjung dibanding dengan taman lain di Lenteng Agung (yang dibuat hampir berbarengan), memang tidak begitu teduh. Tanaman yang ada tidak tumbuh secepat ditaman yang lain. Mungkinkah faktor kesuburan tanah? Bisa jadi. Saya belum pernah masuk ke taman ini, hanya lewat atau sekedar melihat suasana keseluruhan taman dari atas fly over saat melintas. 
Saya pribadi tidak tertarik untuk mengunjunginya. Mungkin juga hal yang sama dirasakan warga lain. Sehingga taman lengang.


Tapi bagi saya taman ini tetap membuat saya senang. Karena, meski tak begitu luas, bisa menjadi resapan air dan menambah  ruang terbuka hijau di Jakarta, walau hanya "seujung kuku"

Saya tunggu taman-taman lain bermunculan. Dan semoga ini bukan sekedar impian.

Monday 2 February 2015

Gendong


Dalam dunia "pergendongan " saya orang kuno, tidak bisa menggunakan gendongan bayi modern yang beragam model, merk, cara dan harga. Saya hanya bisa menggendong bayi dengan gendongan kain (jarik).
Hal ini membuat suami saya protes. "Kaya orang desa jalan-jalan ke kota"
Sayapun bengong...loh apa salahnya kalau orang desa jalan-jalan ke kota ya? Memang saya orang desa yang hidup di kota kan?

Entahlah..bagi saya gendongan modern itu merepotkan, kunci sana kunci sini, silang sana silang sini. Belum lagi ketika bayi rewel akan ngamuk dan susah dimasukan ke gendongan.
Bukannya praktis malah merepotkan. Butuh dua orang untuk memasangkan.
Ribet..

Tapi memang di Jakarta sudah jarang orang memakai kain untuk menggendong bayi. Saya lihat hanya ibu-ibu pengamen dan pengemis yang menggunakannya. Itupun tak banyak. Sebagian dari mereka juga sudah beralih ke gendongan modern.
Jadi saya pikir wajar saja jika kemarin saya gendong Kinan ke Kebun Binatang Ragunan, banyak yang melihat saya dengan heran. Pasti kain gendong saya penyebabnya. Mungkin mereka mengira saya datang jauh dari pedalaman  nun jauh di sana.

Memang kain gendong saya terlihat kontras dengan ibu-ibu yang berseliweran dengan gendongan terkini dan juga stroller jutaan rupiah.
Ra popo lah...yang penting Kinan nyaman.

Jadi ingat,  ketika saya masih kerja lapangan, pernah melihat orang Jepang, suami istri dengan bayi, jalan - jalan ke mall di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, menggunakan juga gendongan kain jarik.
Tapi yang pasti gaya dan tampang mereka kaya, ndak buluk seperti saya.

Hahahhaa