Wednesday 27 May 2015

Banjarnegara


Banjarnegara, Jawa Tengah. Tak banyak yang tahu. Sering orang mengira letaknya di Jawa Barat ( padahal itu Banjar ). Entah berapa ratus kali saya harus meluruskan kekeliruan pada lawan bicara.

Kabupaten ini susah dijangkau lewat udara, (kecuali jika kita pinjam pesawat Menteri Susi). Ke bandara terdekat, Semarang dan Jogjakarta butuh waktu 5 jam jalur darat.
Sedangkan ke stasiun kereta terdekat, Purwokerto,  memakan waktu dua jam. Dengan bus,  Jakarta-Banjarnegara,  ditempuh 9 jam.

Pusat ekonomi Banjarnegara  tidak jauh dari alun-alun. Pasar dengan segelintir ruko. Hanya cukup 15 menit untuk menyusurinya...selesai sudah.
Jangan harap ada hiruk pikuk lalu lalang. Bahkan pasarpun tak ada gaduh tawar menawar.

Diapit Purbalingga dan Wonosobo, Banjarnegara adalah kota yang cocok untuk mereka yang menyukai ketenangan.  Pukul 17.00 WIB, kota ini akan terlihat seperti kota mati. Senyap.
Tak ada banyak kendaraan hilir mudik.
Warga tidak suka hiburan di luar rumah. Bahkan bioskop di sana pun mati. Entah tak laku, entah salah urus. Yang pasti di masa kecil, saya sempat melihat mobil bak terbuka membawa poster keliling desa lengkap dengan pengeras suara yang bunyinya tak keras-keras amat.
Sang asisten sopir  berpromosi tanpa semangat, laksana  kurang upah.
 "Ayo saksikan beramai-ramai   film terbaru.. Beranak Dalam Kubur..di bintangi oleh..bla..bla bla..hanya di Cahyana Theater..hanya di Cahyana Theater"

Film pertama juga terakhir yang saya lihat di bioskop Cahyana  adalah Romeo dan Juliet yang saya tonton sambil lesehan di lantai bersama rombongan teman SMA.  Anehnya..saat adegan ciuman seluruh bioskop riuh rendah seperti menonton bola..sebagian penonton pria berteriak "Ayo...ayo..sosor terus..." Saya heran..karena Leonardo Dicaprio jauh dari mirip soang.

Oh ya..meski jauh dari setenar Gembira Loka (Jogja), atau Ragunan (Jakarta), kabupaten kami  ini, memiliki kebun binatang, namanya Seruling Mas.  Luasnya sama dengan kandang gajah di Ragunan. Jadi lebih cocok disebut kandang binatang, bukan kebun binatang...karena kebunnya tidak ada.
Tapi jangan salah...menyatu dengan kompleks kandang binatang, ada kolam renang super luas yang menurut saya sangat keren untuk ukuran pemerintah tingkat dua.

Banjarnegara juga punya kuliner khas. Dawet Ayu. Sangat nikmat diminum saat udara panas..apalagi untuk berbuka puasa. Beruntung di  desa sebelah ada Dawet nomor wahid seantero kabupaten, namanya Dawet Pak Dolah.
Saya selalu ingin dawet ini. Dan saat Bapak sedang tidak punya uang, Bapak akan berkata : "Tahukah kamu, kemarin Bapak Lihat Ki Dolah memeras santan memakai celana"
Waduh..bayangan celana kolor Pak Dolah dipakai untuk menyaring santan, membuat saya hilang selera.
Dan setelah dewasa, saya sadar... ya tentu saja memerah santan pasti pakai celana..apa jadinya kalau sambil telanjang?

Banjarnegara juga terkenal dengan Salak Pondoh yang renyah manis.
Kebetulan teman SMA memiliki kebun yang superluas. Pernah sekali saya diajak memanen. Hmmm..kalap. Jiwa rakus saya terpuaskan dengan makan salak langsung dari pohonnya, bebas tanpa batas. Wis..pokoke..sakarepku..sa waregku.
Amboiii...Saya rela tertusuk duri demi pengalaman ini.

Itu sekelumit kabupaten tercinta.
Iyong bangga dadi wong Banjarnegara.
Iyong selalu kangen mulih.

Tuesday 26 May 2015

Beras Plastik Bikin Langsing


Dalam perkara maraknya beras plastik, yang paling lega tentunya golongan orang kurus cantik, sang anti menyantap nasi. Karena bagi mereka, bulir-bulir putih elok itu adalah biang kerok penyebab badan tumbuh ke samping.
Tapi, bagi saya, si penggila nasi, tentu saja kebalikannya, sedih dan marah. Ini adalah kejahatan lambung nomor satu!
Alasan kesehatan pasti nomor wahid, dan alasan isi dompet ada diurutan kedua.

Jadi pertanyaannya..dalam masalah beras tiruan ini..siapa yang salah?
Menurut teman saya..yang salah diantaranya adalah saya! Lho..kok?
"Ndak usah nyalahin produsen dan pemerintah,.karena udah jelas produsen salah dan pemerintah lalai. Tapi perut lo juga salah..kenapa perut lo itu hanya kenyang kalau makan nasi? Coba  lambung lo itu keren dikit..cukup hanya makan dua sendok salad  sudah  kenyang. Ubah otak lo! Syukur-syukur lo bisa diet tanpa nasi, jadi bisa sehat langsing asoy geboy. Jadikan momentum nasi plastik sebagai triger dirimu berpindah ke pola makan sehat. Biar lo masuk ke dalam golongan orang-orang dengan healty life style. Meskipun lo ndak cantik..tapi setidaknya lo bisa meng-copy gaya hidup orang cantik, biar mirip-mirip dikit!"  Bla..bla...bla.
Teman saya terus nerocos dengan Bahasa Inggris ke Indo-Indonesiaan.

Owalah..untuk orang kaya, tentu tak masalah menghindari nasi karena mereka mampu membeli roti, mie, daging, hot dog, pizza, burger dan aneka karbohidrat keren lainnya. Lah bagi saya..mana bisa? Selama ini  prinsip makan saya..lauk sedikit tak apa, yang penting nasinya buanyakk sehingga kenyang segera datang .
Pokoknya segunung nasi sejumput teri, tak masalah.

Dan ngomong..soal pengganti nasi, membuat saya teringat masa kecil tak bahagia saya. Saat itu (awal tahun 1980an) nasi seharga Rp.200/kg.  Tapi terasa sangat mahal dan sulit terbeli. Maka, nenek saya mengolah jagung dan kerekel  menjadi nasi yang menumbuhkan saya melewati masa TK dan SD.Kedua nasi ini akan sangat enak disantap panas dengan ikan asin dan sayur daun talas/lumbu panas mengepul .

Nah..masalahnya di jaman sekarang, apalagi di Jakarta, hampir  mustahil menemukan nasi jagung dan kerekel. Jagung lebih memilih  meledak meletup menjadi pop corn (teman nonton film) dan muahalnya edan gila. Lalu singkong sudah jadi krupuk pedas dengan level jin hingga setan.
Mana bisa saya kembali ke makanan pengganti nasi itu? Yang ada adalah segala makanan muahal. Bahkan  umbi-umbian seperti singkong, ubi rambat, dan  talas, harganya muahal ndak ketulungan.

Jadi gemana ini mamake ?
Apa iyong mulih kampung bae ?

Monday 11 May 2015

Lapar-Lapar Serigala

Saya pemakan segala dan jika lapar segarang serigala.

Semua jenis makanan enak di lidah. Asalkan perut setengah kosong (apalagi kosong) maka apapun jadi. 

Dulu ketika masih sangat kurus, orang akan heran dengan daya tampung perut saya yang tak berbanding lurus dengan ketebalan daging di badan.
Tapi kini setelah setengah gemuk..maka orang akan memaklumi. Wajar  gemuk..wong makan sebakul!

Saya akan memalukan jika diajak kondangan. Karena dipastikan saya akan melipir dari satu meja ke meja lain. Lidah dan kaki saya akan seirama dalam mencari sumber makanan, dengan kecepatan yang pas.
Untunglah saya jarang kondangan. Terakhir datang ke pesta pernikahan adalah 9 tahun lalu. Jadi aman lah.

Menurut teman, mungkin di badan saya ada jin-nya, sehingga apa yang saya makan selalu kurang. Karena itu ia mengingatkan pentingnya doa sebelum makan, agar santapan tidak turut diembat setan. 
Saya turuti saran itu, tapi ternyata tak juga mampu mengerem kecepatan daya kunyah dan daya tampung lambung. Sehingga  saya sampai pada keputusan...setan tak doyan nasi.

Nah...di sekitar saya, terutama saat jam makan siang, bertebaran badan langsing semampai yang makan hanya sayuran dan buah. Pernah saya tergoda mencoba seperti mereka, tapi kok perut saya perih dan pening kepala peang. Ya sudahlah...daripada pingsan, lebih baik kembali ke nasi.

Hingga kemudian..datanglah teguran lembut nan bijak. Tanpa sengaja saya mencuri dengar perbincangan dua teman. 
Salah satunya sudah lama berhenti makan nasi. Bukan semata untuk alasan kecantikan, tapi juga alasan kesehatan. Berikut kutipan kalimat saktinya
"Anak-anak saya masih kecil, jika saya makan seenaknya, lalu  sakit dan kemudian meninggal, siapa yang akan merawat mereka? Mereka masih membutuhkan saya"

Olala...
Deg....lambung saya serasa ditampar sandal gapyak.
Sudah saatnya saya menghentikan kerakusan saya. 


Bukan demi saya..tapi demi anak-anak.

Monday 4 May 2015

Mantan ABG Labil

Pada masa-masa labil jati diri, saya akan senang mengikuti gaya di anu, si ono dan si ini. 
Bangga rasanya jika ada orang  berkata saya mirip si kampret atau si semprul. Pokoknya ...saya senang bisa menyamai gaya seseorang. 

Memang, mengikuti mode secara total sih jelas saya tidak mampu. Tapi jika sekedar mengikuti gaya rambut, gaya bicara kenes, menye-menye masih bisa lah.

Nah..begitu dapat pujian, harga diri saya pun menggulak meletup-letup. Saya tidak tahu bahwa di dunia ini ada banyak pujian palsu dan  begitu banyak basa-basi.


Untunglah masa gelap itu telah lewat. Seiring dengan usia yang makin berkurang, maka berkurang pula lah ketidaktahuan diri saya.
Perlahan saya menemukan cara memperlakukan diri dengan mandiri tanpa merasa harus menjadi seperti si ono, anu dan ini. 

Sayapun malu membayangkan bagaimana jika saya ngotot memakai legging padahal itu membuat saya mirip tales di kaoskakiin?
Bagaimana saya jika ngotot memakai memakai celana pensil padahal badan saya mirip rautan?
Bagaimana jika saya ngotot memakai baju tanpa lengan padahal ada bekas imunisasi segede koin?
Bagaimana jika saya ngotot memakai rok mini tapi ada banyak bekas koreng?
Sungguh malu berkalung malu jika saya ngotot meniru gaya orang dengan membabi dan membuta.

Sayapun kemudian menemukan gaya saya sendiri. Gaya yang menurut teman saya serupa kuli bangunan. Jauh dari modis apalagi kenes.
Kaos gombrong, celana gombor, tas punggung, tanpa make up hanya sabun berteman hand body lotion.

Bisa dipastikan saya dibenci pedagang baju dan make up. Kenapa? Karena saya selalu pakai baju itu-itu saja. Tak beli baru jika yang lama belum sobek. Baju hanyalah penutup badan tanpa saya pikirkan sisi kerennya.

Juga dengan make up. Bedak wajah jarang dipakai, cuci muka nebeng sabun Kinan. Lipstik..? Sungguh rasanya kok membuat  bibir saya jadi tebal seperti dibius lokal.

Karena itulah teman saya mengatakan,  penampilan saya memalukan dan tak pantas untuk kondangan. Tak apalah wong saya juga tidak pernah kondangan. 

Bagi saya lebih memalukan ketika saya meniru gaya orang. Dan percayalah mbake..mamase... jadi diri sendiri itu menyenangkan.

Monggo.


Setengah Inggris

Baik di kehidupan nyata, dalam sinetron atau di program infotainment, sering saya mendengar orang berbicara Bahasa Indonesia yang dicampur baur dengan Bahasa Inggris. Kedua bahasa ini mereka pakai saling bertabrakan, juga tumpang tindih bak ikan asin habis dijemur.

Contohnya hari ini, di kereta,  di samping saya ada ada mbak-mbak sedang ngobrol dengan temannya. Antara lain ia berkata begini : "Eh..sorry to say ya..saya tidak suka gaya keluarga kamu memperlakukan kamu..it's so weird. I like you..tapi bukan berarti saya bisa menerima bagaimana keluarga kamu memperlakukan kamu. Thats not the point...bla..bla..bla"
Lalu disela-sela ngomong Inggris, terkadang dia terjemahkan sendiri ke dalam Bahasa Indonesia.
Wow...superrr.

Sesekali mba itu melirik-lirik ke kiri dan ke kanan seakan ingin mencari reaksi atas apa yang orang-orang mungkin curi dengar. Ia terlihat begitu bangga atas tiap kalimat Inggris yang ia ucapkan.
Wajahnya menunjukan dia butuh di kagumi atas kemampuannya ngomong Inggris ke Indo-Indonesiaan, dan diusahakan sangat mirip Inggris British
Wow...superrrr

Makin lama, saya tambah tertarik untuk menyimak. Lumayan, hiburan gratis penahan kantuk. Saya sampai terlongo dengan begitu  banyak kosa kata Inggris yang keluar dari mulut Si Mbak
"I hate his style.. ...I raised by happy family...come on...get real.  Saya berasal dari kekuarga bahagia..keluarga Jakarta.....hello. .give me a break!"
Wow..superrrrr

Sayangnya kereta makin penuh..saya terdorong menjauh. Sayup-sayup satu dua kata Si Mbak Setengah Inggris itu masih tertangkap telinga saya, namun bersaing dengan suara masinis via pengeras suara. Pelajar Bahasa Londo pun terhenti.


Hingga kemudian, tibalah waktu saya turun. Merengsaklah saya ke dekat pintu. Weladalah..ternyata Mbak Inggris Separuh ada di samping saya. Ia juga tengah berjuang mendekati pintu keluar.
Terdengarlah ia berkat..."Oh My God. Its sooooo full. Nggak bisa bergerak nih. Damn shit, kakiku keinjek. My Godness..saya kejepit...aduh..aduhh..please..step a side. This is my stop poin...saya tidak mau terbawa ke next station".

Owalah mamake ...iyong tak mampu lagi saya menahan tawa.
Begitu menginjak peron, saya tutup mulut saya kuat-kuat. Tawa ini rasanya mau meledak.

Mbake kok lucu temen ya....maturnuwun iyong terhibur.
Wkwkkwkkw

Sunday 3 May 2015

Pain Carnival

Setiap ada pawai 17 Agustus, selalu meninggalkan luka kecil di hati. Bukan karena nasionalisme tinggi tapi justru ego pribadi. Saya sedih karena  pasti hanya mendapat peran kecil  tak terlihat. Padahal saya menginginkan didandani ala Putri Bali, Putri Jawa, Putri Minang, atau putri daerah mana sajalah....asal saya dandan kece.

Tapi harapan tinggal harapan. Peran saya dari tahun ketahun selalu sama, yaitu jadi atlet tepok bulu.
Kostum saya tidaklah menarik perhatian, tidak berumbai berkilau, cantik aduhai, tapi cukup celana pendek, kaos oblong dan raket pinjaman tetangga. Selain itu di sebelah saya, dari tahun ketahun juga selalu sama yaitu pak guru yang  berperan menjadi anak SD (tentu lengkap dengan seragam merah putih, topi dan dasi)

Begitu pawai bergerak mengular, start dari sekolah (dan finis di lapangan tak jauh dari kelurahan), saya yakin, tak ada yang akan mengagumi peran saya, bahkan mereka tak sadar saya ada. Warga yang menonton akan memilih berdecak kagum dengan Rumi si kembang desa yang ayu berbalut busana Bali.

Sungguh saya selalu melihat Rumi dengan iri. Ia begitu cantik, dengan kulit putih yang sempurna. Berbalut kemben gemerlap, punggungnya yang terbuka indah berkilau terpapar sinar matahari. Ronce bunga kemboja dirambut menempel sempurna, sehingga dilihat dari sisi manapun Rumi begitu mengagumkan. Dia bak putri turun dari langit ke tujuh.

Sepulang pawai Rumi juga mendapat perlakuan istimewa, ia akan diantar pulang dengan motor. Sementara saya berjalan tersuruk-suruk seorang diri. Oh .... bagaikan langit dan bumi.
Sayapun jadi benci dengan kulit saya yang coklatnya keterlaluan. Saya ingin berkulit putih dan  di kagumi kecantikannya seperti Rumi.

Untunglah pawai penuh siksaan batin  itu hanya berlangsung 6 tahun. Begitu masuk SMP pensiunlah saya menjadi atlet gadungan.

Tapi  ...dalam hati, hingga kini, saya tetap menyimpan keinginan ikut pawai dengan dandanan busana daerah yang kece aje gile.