Tuesday 24 November 2015

Terimakasih..

Sebulan menjadi reporter radio, saya ditugaskan menjadi wartawan istana wakil presiden (tahun 2004-2006) saat itu wakil presidennya Yusuf Kalla. Saya sempat kecil hati. Ibarat kertas saya baru terisi satu paragraf. Belum banyak pengalaman dan ilmu yang saya peroleh. Semua masih sebatas teori dan sedikit praktek di kampus.
Tapi, tugas adalah tugas. Jika kantor saya saja percaya akan kemampuan saya, maka sayapun harus percaya pada diri sendiri.
Maka..bergabunglah saya dengan sejumlah reporter media lain yang hampir seluruhnya sudah berpengalaman belasan bahkan puluhan tahun. Karena itu sering mereka meledek " Eh...anak kecil..ngapain kesini. Sana pulang, kerjakan PR. Masih kecil sudah kerja"

Ternyata, rekan kerja saya adalah wartawan senior yang saya baca beritanya di koran sewaktu saya masih tinggal di kampung. Atau wartawan televisi yang semula hanya saya bisa lihat di layar kaca, atau reporter radio yang dulu sering saya dengar laporannya. Bahkan salah satu dari mereka adalah mentor saya ketika saya masih kuliah  dan mendapat tugas magang. Ah..menyenangkan rasanya, ketika kemudian saya belajar dan  bekerja dengan mereka.
Bagi saya mereka adalah guru-guru yang hebat. Guru yang ditempa pengalaman dan guru yang juga tak pernah berhenti belajar.

Selain itu saya juga sesekali di tugaskan ke Istana Presiden dan setiap hari ke Balaikota DKI Jakarta (Gubernur saat itu Sutiyoso ) juga DPRD DKI Jakarta yang memang gedungnya berdempetan dengan Istana Wakil Presiden. Tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan saya akan ada disana. Bahkan saat kecil, dan mendapat tugas mengarang dengan tema cita-cita, maka saya akan menulis panjang lebar tentang  keinginan menjadi guru, seperti ibu saya. Bukan sebagai jurnalis.

Saya perempuan udik yang masa kecil hingga remaja tumbuh tanpa televisi, membaca koran sesekali dan mendengarkan radio lokal setiap hari, harus mengejar ketertinggalan dan mengatasi gagap ilmu.
Disini saya harus belajar politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sekaligus, karena narasumber yang saya temui ya dari ragam profesi dan semua harus saya laporkan tanpa kecuali. Selain itu saya harus memahami pula isu lokal Jakarta dan sekitarnya karena saya bertugas di Balaikota dan DPRD DKI Jakarta.

Kini belasan tahun berlalu. Masa tugas lapanganpun sudah lama saya tinggalkan. Sibuk berkutat dikantor (redaksi), membuat saya putus kontak dengan teman-teman liputan. Hampir seluruhnya dari mereka juga sudah masuk fase ngandang..alias berkandang (bertugas) di redaksi, memberi kesempatan kepada mereka-mereka yang muda untuk matang di lapangan.
Kadang muncul rasa kangen suasana liputan dan bertanya-tanya dimanakah kini "guru-guru" saya?
Mungkin dulu saya belum sempat menyampaikan terimakasih.
Karena itu melalui tulisan ini saya ingin berterimakasih pada senior-senior saya yang sudah membantu saya belajar dengan instant akan segala hal.


Salam hangat.

Dulu Pembantu Kini Majikan

Ia sosok populer di kantor kami. Sebut dia Brindil. Entah itu nama aslinya, entah itu nama panggilan (sesuai rambutnya yang kriting), saya tak tau persis. Yang pasti dialah penguasa dunia per-kantinan di Jalan Rawa Teratai 2 no 2, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur.

Pernah, saat sepi, dan sayalah hanya satu-satunya pembeli, kami berdua berbincang. Sambil mengunyah masakan (yang entah rasanya apa, tapi tetap saya telan karena lapar), saya malah lebih menikmati ceritanya.
Tenyata sebelum Brindil beralih ke usaha makanan, beberapa puluh tahun lalu ia pernah menjadi pembantu rumah tangga. Hebatnya, ia selalu mendapat majikan orang-orang ternama, mulai dari pejabat hingga artis/pengusaha.
Dan ternyata tabiat mereka unik-unik.
Ada artis yang menggajinya tinggi, tapi ia harus rela memakaikan dan melepas sepatunya setiap akan pergi atau sehabis keluar rumah. Ketika saya tanya apakah majikannya lumpuh, atau strooke sehingga kaki dan tangannya tak bisa di gerakan, ternyata tidak. Majikannya (yang juga istri pengusaha) hanya malas memakai dan mencopot sepatu. Selain itu selama 24 jam ia harus siap melayani, karena  jam 2 malam pun, seringkali majikannya ini menggedor pintu kamar membangunkannya, demi segelas jus. Tak tahan dengan beban pekerjaan,  hanya dalam hitungan minggu, Brindil berhenti mencari uang di sana.

Lalu iapun mengaku pernah bekerja di rumah pejabat. Meski berduit banyak, tapi sang istri sangat takut makanan di kulkas hilang. Jadi setiap akan pergi, majikan wanitanya ini akan menghitung jumlah makanan yang ada. Dan saat pulang, hal pertama yang ia lakukan adalah membuka kulkas dan memastikan bahwa semua makanan di dalamnya baik-baik saja dan tak berkurang semilipun. Hahaha...saya ngakak mendengar cerita ini, karena mirip seseorang yang saya kenal. Sayapun memiliki teman yang bahkan buah mangga di halamannya  diberi nomor sehingga jika hilang akan diketahui dengan mudah. Unik bukan?

Tapi tak hanya cerita sedih kok yang Brindil bagi ke saya. Ada pula cerita bahagia tentang salah satu majikan yang saking baiknya sampai kini masih suka menghubunginya dan mengundang ke rumah jika ada acara keluarga. Padahal ia mantan pejabat berpangkat loh.

Hmmm..kisah hidup yang menarik. Semua itu adalah cerita pahit masa lalu yang menjadi kisah manis diakhinya. Meski masakan Brindil jauh dari rasa enak, dan mahal pula harganya, ia sekarang mendulang sukses. Ia adalah mantan pembantu yang kini memiliki banyak warung, juga memiliki banyak rumah sewa. Ia adalah sosok yang mampu memutar hidup dari pembantu menjadi majikan.

Tak banyak orang yang mampu melakukannya kan?

Tuesday 17 November 2015

"Oshin" Kami

Dia sepupu kami. Pekerjaannya bertani. Meski setiap hari  dibawah sinar matahari  tapi kulitnya tetap seputih salju. Jika tersenyum ada lesung di kedua pipi..cantik sekali. Kami menjulukinya "Oshin" (karena ia begitu mirip Yuko Tanaka, wanita Jepang dalam serial lawas, Oshin) sehingga  nama aslinya (Daroyah) bahkan nyaris kami lupakan.

Terkadang saya iri melihat warna dan kehalusan kulit "Oshin".
Apa yang ia makan sehingga bisa memiliki kulit seindah itu?
Ternyata tak jauh beda dari makanan kami di kampung pada umumnya, yaitu daun singkong, bayam, kecipir, daun kecipir, kacang panjang dan sederet sayuran  lain.
Lotion, bedak atau kosmetik lain tak ia kenal.
Bibirnyapun merah merona tanpa polesan lipstik.


Terkadang saya bertemu dengannya ketika sedang sama-sama memotong padi. Oh..kulitnya seperti menyala terang ditengah terik. Kecantikannya begitu menyolok meski ia bercaping dan berpeluh, sangat kontras dengan wanita-wanita lain yang coklat gelap terpapar matahari. Sangat berbeda dengan kulit saya yang hitam sejak lahir.

Lain waktu, saya melihatnya sedang menanam padi. Meski seluruh badan dan kadang sebagian wajahnya terciprat lumpur, tak mampu pula membuatnya terlihat buruk.
Senyum khas dan kulit terangnya tetap mempesona. Bahkan setelah lumpur dicuci, bagaikan tubuh yang selesai di lulur dan bagaikan wajah yang selesai di masker, kulit semakin terlihat indah.

Paling menyenangkan ketika melihatnya memanen melati. Kulit saljunya akan basah terkena embun sisa subuh.
Dan ditengah hamparan putih bunga Melati..ia bak ratu dengan keharuman sempurna.

Ah..kalau dia tinggal di Jakarta, pasti akan banyak pria jatuh cinta dan rela melakukan apa saja untuknya. Artis-artis ibu kota (dengan kecantikan palsunya), akan mati iri dibuatnya.
Saya bayangkan ia mengenakan gaun mewah, bersanding dengan pengusaha tampan dan kaya, atau melenggang anggun di karpet merah, bukan di pematang sawah atau berkubang lumpur di kolam ikan.

Ahaaaa..benar kata Ibu saya, tak peduli di tempat sekotor apapun, berlian tetaplah berlian, tetap indah bersinar.
Jadi tak peduli dimanapun "Oshin" tinggal, kecantikannya tak akan pudar.

Dan bagi saya "Oshin" kami ini adalah pelajaran hidup yang sangat berharga....simbol kecantikan alami yang sesungguhnya.
Tak perlu maju mundur cantik...cantik... karena dia memang sudah cantik.

Ulalaaaa...



Sumber foto :  www.pinterest.com

Friday 13 November 2015

Guru Kecil

Kinan adalah guru saya.
Meski usianya belum genap 22 bulan, tapi dia tak pernah berhenti membuat saya terkesan.
Setiap menerima bantuan apapun (terutama saat saya memberikan botol susu) maka ia akan berkata "terimakasih" dengan sangat sopan. Lalu saat meminta bantuan, ia akan berkata "tolong" dengan santun.
Yang lebih mengagumkan lagi, ketika saya bicara sedikit keras, Kinan akan memanggil saya dengan lembut "Mama...Mama", lalu menutup mulut saya dengan tangannya yang mungil.
Atau disaat lain dia memanggil saya dengan halus, lalu menatap saya dengan sorot memohon, seakan berkata "Jangan marah Ma".

Semua sikap bijaknya itu membuat amarah saya hilang seketika.

Sekali waktu pernah saya marah pada Keni (kakaknya) dan dengan nada tegas meminta agar remot mobil-mobilan disimpan (karena sudah waktunya istirahat). Tapi dengan keras Keni menolak. Sayapun meninggikan suara, kembali meminta agar remot disimpan.
Melihat kami bersitegang, Kinan menjadi penengah yang lembut. Dengan langkah kecilnya
Ia mendekati kakaknya "Injam(pinjam) kak..injam kak". Kenipun memberikan remot pada Kinan dan Kinan memberikan ke saya, dengan tatapan mata seakan berkata "Selesai masalahnya kan?"

Hal mengharukan lain ia lakukan ketika Bapak memarahi Keni kemarin (lebih tepatnya berkata tegas). Kinan menjadi guru damai dengan cara memandang lembut, memeluk, mencium dan menepuk-nepuk kaki Bapak, sambil memanggil pelan.."Bapak...Bapak"..seakan ingin berkata.."Jangan marahi kakakku".

Ternyata meski kerap dibuat menangis dan harus mengalah, tak menghalangi Kinan menyayangi Keni. Ia menjaga kakaknya dengan cara yang luar biasa untuk seumurannya.

Kejadian kemarin pagi juga membuat saya terharu. Kinan  minta di gendong. Ia memegang keripik kentang. Tanpa sengaja keripik itu mengenai pipi saya sehingga menyisakan remah-remah menempel.
Sesaat Kinan menatap saya, kemudian membersihkan pipi saya dengan lembut berkali-kali seakan ingin memastikan tak ada benda apapun di pipi saya.

Duh...Kinan...kamu membuat hidup Ibu,terasa  lebih mudah.


Terimakasih...terimakasih

Thursday 12 November 2015

Dear Nurani..Dear PT KAI Commuter Jabodetabek


Sudah tertulis dengan jelas bahwa bangku tunggu di peron Stasiun Manggarai, Jakarta hanya diperuntukan bagi ibu hamil, lansia, ibu dengan balita, dan penyandang cacat.
Tapi setiap hari, yang saya saksikan, pengguna bangku tersebut sebagian besar adalah pria muda gagah perkasa (juga melambai) atau wanita muda,  yang sama sekali tak pantas juga tak punya hak duduk disitu.

Dan apa yang saya saksikan kemarin sungguh membuat saya geram. Pria muda dengan seenaknya saja tidur di bangku khusus, ada pula yang asyik main gadget...dan lebih parah lagi saya melihat tas gunung segede "gaban" duduk manis dibangku!!!!!!
Astaga...seberapa penting tas itu nangkring disana? Sementara saya lihat di depan bangku khusus itu, berdiri lansia, kakek dengan penyangga kaki, lalu ibu dengan bayi?
Segera saya hampiri si kakek, saya tawarkan bantuan untuk meminta kursi yang memang menjadi haknya. Namun jawaban si kakek sungguh mencengangkan " Tak apa, saya masih kuat berdiri, mungkin yang duduk sakit semua"
Dalam hati saya berkata "Ya kek, mereka sakit mental, cacat nurani atau buta huruf"
Saya sungguh marah.

Duapuluh menit kemudian seorang kakek lainnya (dengan tas selempang yang berat) telihat tak kuat lagi. Ia akhirnya berusaha duduk di bahu kursi.
Dengan gemetar menahan emosi, saya meminta agar Bapak itu duduk saja dan menghimbau agar yang muda berdiri. Apalagi melihat tas gunung di bangku,  saya sungguh jijik.
 Tapi sungguh mencengangkan...tak ada satupun yang muda berdiri memberi bangku.
"Tas itu tak bayar, tak pantas di dibangku,  Lihatlah tulisan di atas kepala kalian, disitu terlihat jelas bangku ini untuk siapa? Yang muda-muda harusnya malu. Bangku ini bukan hak kalian"
Melihat saya marah-marah, bukannya bangun memberi duduk, mereka malah pura-pura tak mendengar.
Ya Tuhan..saya sungguh berdoa semoga manusia macam ini mendapat balasan yang lebih kejam kelak.
Apakah mereka merasa tak akan tua nanti? Orang tua macam apakah yang membesarkan manusia dengan hasil akhir seperti itu? Menjijikan!
Tas gunung yang mereka mampu gendong ketika mendaki gunung...ternyata tak mampu ia gendong ketika ada di stasiun. Betul kata teman saya...dia bukan pendaki gunung...tapi DAKI gunung!

Kepada siapapun yang membaca tulisan ini, jika memang anda berhak atas bangku itu. Mintalah dengan tegas, karena untuk mengharapkan kesadaran orang, tak akan  banyak orang yang "normal" disana.
Dan kepada pihak PT Kereta Api Commuterline, tegaslah dengan penumpang bermental sakit semacam ini. Wajibkanlah petugas keamanan stasiun untuk "mengusir" siapa saja orang yang tak punya hak duduk disana. Bila memang tidak ada penumpang berkategori khusus, maka biarkanlah bangku itu kosong.

Jika di dalam gerbong (aturan bangku prioritas) bisa ditegakkan, kenapa di bangku tunggu peron tidak?






Kejadian di atas terjadi 12 November 2015 sekitar jam 10.00-11.00 WIB, jalur 4 jurusan Bekasi, peron gerbong pertama. (Hp saya lowbatt sehingga tak bisa mengambil foto). Tapi bisa dipantau via CCTV.

Tuesday 10 November 2015

Hanya Sekedar Beruntung?

Saya ikut kuis/undian/kompetisi berhadiah sejak 5 tahun lalu. Tahun pertama hingga ketiga, yang saya dapat tak jauh dari sabun, shampoo dan tissue. Saat  orang lain dapat mobil, motor, gadget atau jalan-jalan keluar negeri, saya hanya bengong saja.

Ratusan undian sudah saya ikuti, tapi tak ada nama saya di tiap pengumumannya. Bahkan yang pemenangnya ribuan..seribu hingga tiga ribu pun....tak ada nama saya di sana.
Kecewa..marah, kesal tentu saja. Saya hanya  manusia biasa. Tapi saya tak putus asa. Setelah marah dan sedih reda..ya saya ikut undian lagi. Hehehe.
Pokoknya tak ada kamus menyerah dalam hidup saya.
Hingga kemudian menginjak tahun ke 3 saya mulai memenangkan hadiah yang selama ini saya impikan, mulai dari rupa-rupa gadget, umroh, menonton piala dunia Brazil, perabot/furniture, uang tunai, mesin cuci  hingga kendaraan. Mungkin Tuhan memberi "hadiah" pada saya karena tidak berhenti mencoba dan berusaha.

Saya pikir semula keberuntungan adalah mutlak milik beberapa orang saja, tapi pengalaman saya membuktikan bahwa keberuntungan bisa kita dapat selama kita berusaha tak kenal putus asa. Gagal ya coba lagi....gagal lagi ya coba lagi ..sampai kita dapat.

Dan jangan pernah anggap remeh pemenang undian...dan jangan pikir bahwa semua diperoleh tanpa usaha keras..karena kalian tidak pernah tahu bagaimana usaha seseorang hingga jadi pemenang.  Kadang penuh keringat dan air mata. Sayangnya terkadang orang terpaku pada hasil akhinya saja.

Haduh..maaf ..ngelantur.
Ini hanya sekedar sharing saja, semoga bermanfaat.
Kuncinya..jangan menyerah. Karena gagal disatu undian hanya pintu untuk menang diundian berikutnya. Yang penting...ikut.
Hasil akhir adalah urusan Tuhan.

Untuk teman-teman kuter (kuis hunter) saya banyak belajar dari kalian. Kalian orang-orang hebat,.kreatif dan cerdas.
Dibanding kalian..saya bukan apa-apa.


Selamat mencoba.

Friday 6 November 2015

Sempurnakah Tanganmu?

Di depan saya berdiri seorang ayah, dengan kedua lengan tersisa seperlima, mengendong bayinya. Gendongan modern membantu sang anak melekat aman di dada yang bidang.
Sesekali ia terlihat mencium dahi dan rambut si anak dengan hangat.

Meski tak punya telapak tangan untuk membelai tapi itu tak menghalanginya menyampaikan cinta. Meski tak punya tangan sempurna ia tetap menggendong anaknya, memberi kehangatan khas seorang ayah, dan tentunya membantu beban istri meringankan tugas mengasuh anak.

Saya lalu melihat diri sendiri..melihat kedua tangan saya yang sempurna tak kurang seincipun. Apakah tangan saya sudah cukup menyampaikan cinta. Sudahkah saya menyentuh anak-anak saya, membelai, memeluk dan menggandeng, sebanyak yang anak-anak saya butuhkan?



Saya malu...sungguh malu. Karena saya memiliki tangan sempurna tapi saya belum menggunakannya dengan baik. Tangan saya lebih banyak memegang gadget dan mouse dibanding memegang tangan anak-anak saya. Tangan saya lebih banyak untuk bergelantung di kereta, dan memegang bulpoin juga kertas, dibanding membelai anak-anak saya. Tangan saya lebih banyak untuk mengiris sayur mayur dan bumbu dibanding memeluk anak-anak saya.  Tangan saya lebih banyak untuk mengurus cucian dibanding mengurus anak-anak saya.

Saat saya berangkat bekerja, mereka masih tidur dan saat pulang, mereka sudah tidur.
Mereka hanya sesekali melihat ibunya ketika terbangun di malam buta,  dimana  kedua mata kami sama-sama terlalu berat untuk diajak bercengkerama.

Dan untuk para suami..(yang mempunyai tangan lengkap), bercerminlah pada pria bertangan seperlima ini.
Sudahkan kalian memeluk anak-anak dan istri kalian hari ini? Sudahkah kalian menggendong si kecil, untuk sekedar memberi waktu istrimu agar bisa mandi dan makan dengan tenang tanpa khawatir si kecil jatuh diluar pengawasan? Sudahkah kalian menggunakan tangan untuk membelai anak istri? Atau  mengelus bahu dan punggung mereka walau hanya sekian detik saja?

Sekarang... lihatlah kedua tanganmu yang sempurna itu.....sudahkan kalian gunakan dengan baik?

Jawabannya ada di hati kalian yang paling dalam.




Mata Panda Bikin Bangga

Melalui pantulan cermin, saya pandangi dua mata kuyu di sana. Ada kantong mata lengkap dengan lingkaran hitam. Apakah itu saya, atau emaknya Panda ya?

Oh ya...meski namanya kantong, tak ada uang atau kacang kulit disana. Yang ada rasa lelah dan kantuk.

Mungkin sebagian orang memutuskan untuk membuang si kantong ini di meja operasi. Tapi sejauh ini, saya hanya mampu operasi cesar saja...itupun ditanggung asurasi kantor....plus nombok yang harus dilunasi dengan memotong gaji 8bulan lamanya. Hahhaa

Meski begitu, saya harus bersyukur, karena kantong itu pertanda saya memiliki pekerjaan kantor, pekerjaan rumah, lalu punya anak dan suami yang harus diurus.
Mungkin jika saya  tak punya itu semua, maka mata saya akan segar ceria, tapi hidup hampa.

Tak apa saya tidur sehari 2-4 jam, toh itu hanya akan berlangsung mungkin 12 tahun saja, karena anak-anak saya akan segera dewasa. Mereka akan segera mandiri dan tak lagi membutuhkan saya.
Segala kerepotan dan rasa kantuk yang menumpuk, semoga kelak akan terbayar dengan anak-anak yang bisa menghormati dan bisa dibanggakan orang tua.

Jadi..banggalah dengan kantong mata Anda


Thursday 5 November 2015

Turun Berat Badan 26 kg Dalam 3 Bulan (Bukan Iklan)


Beberapa waktu lalu kantor kami mengadakan kompetisi menurunkan berat badan selama tiga bulan. Hadiah utamanya Rp. 10.000.000. Menggiurkan bukan?

Saya tentu tak bisa ikut karena sedang hamil. Jika sedang tak hamilpun tetap tak bisa ikut, karena jika terus diturunkan lagi bisa-bisa saya jadi Panji Tengkorak!

Dan kompetisi ini melahirkan sosok yang luar biasa hebat dalam merubah gaya hidup yaitu Yoki.
Saya kenal baik dengannya. Sebelum diet, saya tahu persis selera makannya, dan paham betul kapasitas lambungnya.
Kami selalu duduk bersebelahan, karena kami satu tim
Bobot awal Yoki, fantastis..104 kg ! Selalu makan enak karena ibunya jago masak. Saya tentu saja kerap ikut mencicipi dengan lahap. Hahaha


Begitu mengikuti kompetisi, ia langsung mengubah 1000 % gaya hidupnya :

1. Tidak makan yang berlemak dan kolesterol tinggi, seperti : tetelan, kulit ayam, santan,dan semua makanana dengan lemak tinggi.
2. Tidak makan nasi putih, karna kandungan gulanya banyak..
3. Tidak makan mie atau sejenisnya, baso, serta goreng2an, junkfood atau makanan siap saji.
4. Tidak minum air es, softdrink, alkohol ( semua  minuman yang dingin dan mengandung banyak gula)
5. Tidak makan apapun setelah pukul 18.00
6. Olahraga teratur dan istirahat teratur

Nah..tiga bulan kemudian, ia lah pemenang kompetisi dengan hasil lemak hilang 26 kg.
Luar biasa bukan?
Baju dan sepatunya langsung berubah ukuran!




Sungguh..tulisan ini bukan iklan alat atau obat pelangsing...tapi murni catatan kehebatan teman saya Yoki dalam menurunkan "beban hidup" yang sesungguhnya yaitu ...lemak.

Dan hingga kini..puluhan bulan setelah kompetisi usai, ia tetap konsistem dengan gaya hidup sehatnya. Ia tetap memiliki badan proporsional. Jadi kalau ada artis yang pamer bangga karena bisa menurunkan berat badan 9 kg dalam waktu 6 bulan saya , saya hanya bisa berkata : "Ah..tak.sehebat teman saya".


Semoga saja bisa menginspirasi.

Monday 2 November 2015

Membaca Hatimu

Saat pulang kantor, saya selalu tak sabar membuka tas Ken.
Yang saya cari bukanlah berapa nilai yang ia dapat hari itu, tapi secarik kertas dengan hasil coretan pensilnya.
Ya...karena bagi saya, bagaimana suasana hatinya,  lebih penting dibanding sekedar nilai mata pelajaran. Dan suasana hatinya bisa saya baca di atas kertas.



Apa isi dari selembar kertas itu?
Beragam.
Misal, ketika tragedi crane jatuh di Masjidil Haram, Mekah, Arab Saudi (September 2015), Ken 2 hari berturut-turut membuat gambar masjid dan crane yang ia beri  judul : Detik-Detik Crane Jatuh dan Crane Jatuh Saat Jumat Sore, lengkap dengan kalimat "Lailahaillaloh.."




Saat Ken sedang rajin-rajinnya sholat berjamaah di Masjid..ia pulang membawa gambar masjid. Baginya masjid selalu menarik dan tempat menyenangkan. Karena ia sangat menyukai suara adzan, maka ia menggambarkan pula masjid yang tengah mengumandangkan panggilan sholat.



Lalu lain hari Ken menggambar lapangan sepakbola dengan nama tim dari negara-negara yang bertanding.
Atau jika ia sedang ingin menikmati kue, ia akan menggambar kue, lengkap dengan daftar kue-kue kesukaannya.



Lalu ketika suami kepala sekolahnya meninggal karena sakit, Ken membawa pulang gambar areal pekuburan. Pekuburan memang selalu menjadi perhatian Ken, karena menurutnya mirip dengan game di tab-nya : Zombie Plant. Dan sebagai anak yang mampu melihat hal yang tak terlihat, pekuburan menarik karena ia bisa melihat "macam-macam".




Tapi hal yang paling sering ia gambar adalah jalur kereta. Tentu saja ini sesuai dengan cita-citanya menjadi masinis kereta. Baginya kereta adalah hal paling menarik di dunia. Saat menonton Youtube atau Googling, yang ia cari ya..video dan gambar kereta lengkap dengan ciri-ciri masing-masing stasiun satu persatu.



Dan ada satu gambar yang paling membuat saya tersenyum. Ia menggambar Mobil Satelite yang dipakai untuk Live Report di televisi (SNG) bertuliskan News, Berita . Sedangkan di sisi mobil live, ada mobil pemadam kebakaran. Gambar ini bercerita tentang siaran langsung dari lokasi kebakaran.
Rupanya pekerjaan ibunya ia amati dan pahami betul, sehingga ia mampu menggambarkan seperti itu.




Ken
Ibu memang jauh dari sempurna, tapi Ibu selalu memberimu hal terbaik yang Ibu mampu.

Terimakasih sudah memberi pelajaran yang sangat berharga, karena sesungguhnya tak ada sekolah menjadi Ibu kan?