Tuesday 26 October 2021

Tersesat Ke Kamar Mayat

Hari ini saya menjalani FNAB. Apa itu? Kalau kamu tidak tahu, jangan sedih, masih banyak hal lain yang bisa disedihkan. Saya pun baru tahu apa itu FNAB di umur 42 tahun. Kalau tidak ada tumor di tiroid saya, mungkin saya tidak akan mengetahui apa FNAB. 


FNAB itu Fine Needle Aspirasi Biopsi. Jadi dokter mengambil cairan yang berada di dalam tumor, menggunakan jarum,  untuk mengetahui ganas atau tidaknya Si Tumor.

Sebelum menjalani proses ini saya antri dua pekan. Prosedurnya tidak rumit. Saya hanya diminta berbaring dengan posisi kepala mendongak, tidak boleh menelan saat jarum sudah masuk ke tumor. Dan hanya dalam hitungan 2-3 detik.. selesai.

Dokternya jago. Saya hampir tidak merasakan apa-apa saat jarum ditusukan. Tapi terasa sedikit perih lima menit kemudian.Perihnya dari skala 1- 10, ada diangka 1.  Dokter hanya menyarankan jika terasa sakit minum Parasetamol.


Lalu saya membawa cairan dari tumor  tersebut ke bagian Patologi Analisis (PA). Ya bahasa sederhananya, cairan dari tumor di leher saya akan di uji di laboratorium. 

Suster hanya memberi petunjuk : bawa ke bagian Patologi, dekat kamar mayat.


Saya punya pengalaman ke kamar mayat RSCM,  tapi itu sekitar tahun 2004-2008. Jadi ini semacam dejavu.

Saya pun menyusuri lorong demi lorong hingga akhirnya berada di depan rumah duka, dan  bingung. Sudah jauh berubah. Tidak bisa saya mengenali lagi. Saya pun lalu masuk ke ruangan bercat putih hijau, dan bertanya kepada petugas  di mana ruangan Patologi Analisis. Rupanya saya salah masuk. Itu kamar mayat!

Secepat kilat saya keluar dan pandangan mata saya yang buram kemudian bisa menemukan papan bertuliskan Patologi Analisis .

Saya menunggu sekitar 30 menit hingga kemudian nama saya dipanggil untuk menyerahkan sampel cairan tumor. Hasil PA akan muncul sekitar lima hari kerja. 

Saya pun bergegas keluar dengan pikiran setengah kosong. Tiga belas tahun lalu, saya menyaksikan banyak kematian di sini, korban kecelakaan dan pembunuhan. Saat itu tak pernah terbayangkan saya akan berjuang untuk tetap hidup di sini. 

Dan kamar mayat yang baru saja saya masuki, seperti pengingat..betapa berharganya hidup.


Salemba, Jakarta Pusat,  26 Oktober 2021

Saturday 23 October 2021

Sebelum Saatnya Tiba

Dalam kamar rawat berkapasitas empat pasien, saya merasakan udara panas dan pengap. Rupanya seorang pasien tak tahan dengan pendingin udara, sehingga 3 pasien lainnya harus mengalah. 


Saya pasien yang menunggu transfusi darah. Si Tak Tahan AC, pasien pasca operasi kista yang akan segera pulang, dan dua pasien lainnya adalah pasien dalam tahap tak lagi bisa disembuhkan, seorang diantaranya tepat di samping saya, seorang lainnya, berada tak jauh dari toilet. 


Dia yang tepat disebelah saya,  tak ada yang menemani. Sesekali ia merintih kesakitan, menyebut nama Tuhan, sisanya senyap. Suster merawatnya dengan baik, penuh simpati. Saya namakan dia : Si Sunyi. 


Sedangkan pasien yang berada di dekat toilet, ia terus menerus bicara, hampir tanpa jeda. Saya namakan ia Si Celoteh. Ada seseorang yang dibayar untuk menungguinya yang juga punya banyak kata. Saya mendengar perbincangan hampir tanpa henti. Kadang si penunggu bayaran ini juga mendekati saya dan bergosip mengenai Si Celoteh.Hingga kemudian perlahan suara  Si Celoteh menjadi cadel. Dokter menyampaikan sel kanker sudah menjalar ke hampir ke seluruh organ tubuhnya sehingga pasien merasakan sesak nafas dan sulit bicara normal.

Si Celoteh pun meminta pulang. Ia menyerah.


Sementara pada  hari kedua saya dirawat, Si Sunyi pulang dalam senyap. Bahkan saya tak menyadari kepulangannya. Saya kaget ketika saya keluar dari toilet tempat tidurnya telah kosong. Semula saya mengira ia ada tindakan di ruangan lain, tapi menurut suster Si Sunyi memilih "menunggu waktunya selesai " di rumah.

 


Merenungi nasib Sunyi dan Celoteh,  saya merasa melihat gambaran kemungkinan masa depan saya. Mungkin lima tahun ke depan atau lebih cepat, saya akan seperti keduanya. Tapi sebelum saat itu tiba, saya akan gunakan sebaik-baiknya.



Salemba, Jakarta Pusat, April 2021

Friday 22 October 2021

Pria Lima Ratus Juta

Sudah tiga bulan, lingkungan kami kedatangan seorang pria penyandang status Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), berkaus merah, celana hitam robek-robek dan menenteng kantong plastik berisi sampah aneka rupa. Dari mana ia berasal? Masih menjadi misteri.


Tempat tidurnya di teras masjid,  persis di bawah tempat penyimpanan keranda. Tapi meski tidur di masjid ia memilih sholat di sembarang tempat. Bahkan saya pernah melihat ia sholat di jembatan, di bawah gapura,dan di depan warung. 


Seperti pada umumnya orang gila, ia lebih banyak diam, hanya sesekali berkata... " Lima ratus juta... lima ratus juta"

Sehingga kemudian saya menyebutnya : Pria Lima Ratus Juta.


Hampir setiap pagi saat ke pergi ke tukang sayur, saya melihatnya. Kadang ia sedang meringkuk di bawah keranda, atau sedang termenung saja. Makanan dan minuman yang saya sodorkan ia terima tanpa sepatah kata. 



Hingga kemudian saya terpikir untuk mencoba membantu agar ia  mengenakan baju yang layak dan bersih. Tapi ketika baju saya serahkan,ia menolak. Dan saya kaget ketika ia berkata : "Maaf Bu, saya sudah punya istri"


Wow... dia ternyata mengira saya ingin memenangkan hatinya. 

Saya malu..sangat malu. 


Dalam perjalanan pulang ke rumah saya berpikir betapa setianya si Pria Lima Ratus Juta ini. Bahkan dalam kondisi tak waras pun, soal hati dia waras, dia setia.



Jadi buat kalian yang waras, tapi tidak setia.....renungkanlah.




Tuesday 19 October 2021

Orang Terkenal

Saya pernah sangat-sangat jahat ke artis dan pejabat. Kala itu, di mata saya mereka itu sempurna. Selalu tampak paripurna tanpa cela. Saat bertemu, saya mengharapkan mereka sama persis dengan  sosok seperti yang saya lihat di layar kanca.  

Saya akan kecewa kalau ternyata mereka  berketombe, ngupil, kentut dan betahak. Saya akan kecewa kalau melihat ada cabai di gigi mereka, rambut awut-awutan, apalagi bau jengkol. 


Lalu saya sadar...loh mereka kan manusia juga seperti saya. Masa iya mereka tidak boleh kentut bau, tidak boleh makan jengkol, tak boleh males sikat gigi, tak boleh males mandi?  Betapa kejamnya saya...apa hak saya mengatur mereka? 


Saya juga pernah benci dengan artis atau pejabat yang menolak foto bareng. Menurut saya mereka sombong, sok populer, sok penting. 


Tapi kemudian saya sadar. 


Coba bayangkan jika mereka disetiap langkah keluar rumah harus melayani foto bersama. Betapa repotnya.


Saya teringat, saat lebaran,  saya merasa segan dan malu  diajak foto bersama anggota keluarga. Padahal  yang mengajak saya foto adalah saudara sepersesusuan, seperkamaran, seperpiringan dan seperbajuan. 

Selain itu, foto di depan Kang Bikin KTP pun, saya grogi. Kegrogian itu mengakibatkan foto yang akan saya pakai sampai mati,  tak ada cakep-cakepnya.

Lalu bagaimana perasaan saya kalau tiba-tiba diajak foto oleh orang yang tidak saya kenal?  Pasti saya menolak. 


Jadi kalau ada artis yang merasa tak perlu melayani permintaan foto bersama di sembarang tempat, menurut saya itu wajar saja. Menurut saya boleh saja meminta foto bersama, tapi di tempat yang memang dikhususkan artis tersebut untuk bertemu penggemarnya. Misanya di acar jumpa fans, kondangan kawinan, kondangan sunatan, launching album, atau di lokasi syuting. Tapi kalau ada yang tak mampu menahan diri untuk mengajak foto sang idola  di bandara misal, mintalah dengan sopan. Jika artis atau pejabat tersebut keberatan, maka homatilah. Dan jika artis itu ternyata bersedia, berarti hatinya pasti seluas Laut Jawa digabung dengan  Samudera Hindia .


Kini saya menyadari,  terkenal dan dikagumi banyak orang tidaklah mudah. Berat..sangat berat. Dan jika masih ada yang berpikir..loh itu kan konsekeuansi dia sebagai orang terkenal? Cobalah sedikit berempati..seujung kuku saja, tak apa.




Monday 18 October 2021

Berpayung Di Kamar Mandi

 Jakarta hujan deras sejak malam hingga pagi.


Kami sedang menyantap sarapan nasi uduk orek tempe. Tiba-tiba dari arah belakang rumah terdengar suara ..brukkk..krompyang..srek srek.... Dari nada iramanya saya duga genteng jatuh. 


Dan benar..terpampang nyata di depan mata, atap di atas kamar mandi kami porak poranda. Kayu rangka patah mengenaskan. Genteng jatuh remuk redam.


Kejadian ini langsung saya laporkan ke pemilik rumah, Ibu Kontrakan. Tapi, pada masa kini,  rupanya sulit untuk mencari tukang. Jadi untuk sementara Ibu Kontakan menyarankan diperbaiki sendiri dulu. 


Krik..krik..krik  otak saya berpikir seperti jangkrik. Saya tidak punya keahlian membetulkan atap. Sebenarnya lebih tepatnya belum punya ..karena saya belum mempelajarinya. Bodohnya,  kenapa saya selama ini tidak terpikir untuk mempelajarinya?



Hujanpun terus datang dan pergi. Menurut ahli cuaca, hujan akan terus turun dengan bahagia sepekan ke depan.


Kami pun bahagia. Apapula yang perlu disedihkan?

Semua ada masanya...begitu pula dengan atap.

Sudah belasan tahun Si Atap melindungi kami dari hujan (kalau panas,  atap kami  tidak  mampu melindungi,karena  tanpa jendela yang bagus, rumah yang kami sewa panas ..hahaha).


Kami paham, sudah saatnya Sang Atap mendapat rangka baru..genting baru. Sang Atapun ingin bersolek sesekali.

Tapi tunggu ya...karena sepertinya  kami perlu waktu untuk mempersiapkanya

 

Sementara atap belum diperbaiki, saat turun hujan,  kamar mandi kami... meriah. Air mengalir tak hanya dari bawah tanah, tapi juga dari sela plafon yang bocor. Ah..gemericiknya serasa di Hawai. 


Lalu saat kami harus memenuhi panggilan alam, kami jongkok di toilet sambil memegang payung.


Wow....untuk saya yang menyukai hujan, saya bahagia.


Hujan tak pernah gagal menyenangkan saya.


Jakarta, 18 Oktober 2021


Tiga Sendok Nasi

Ketika rombongan ajang kompetisi  putri-putrian datang ke kantor, saya hanya melihat sekilas. 

Bagi mata awam saya, rupa  mereka hampir sama. Tinggi menjulang, langsing bak tiang, dan berambut panjang lurus bak jalan tol. 


Kadang saya heran, mereka makan apa sehingga bisa tegak berdiri? Karena berdasarkan pengalaman saya, saya baru bisa tegak berdiri setelah makan sepiring nasi...itu tidak membuat saya langsing. 


Konon katanya ada diantara mereka tak makan nasi, atau ada  yang makan nasi tapi hanya 3 sendok saja. .Astagaaaa..saya 3 centong saja, itupun kadang nambah!


Tapi menurut teman saya yang bijaksana,kemampuan orang itu berbeda-beda jadi saya tak perlu ikut-ikutan makan 3 sendok nasi, karena meski itu akan membuat saya kurus, tapi tak akan membuat saya seperti putri.



Begini...menurut saya mereka yang ikut ajang putri-putrian,  adalah perempuan terpilih yang cantik luar dalam. Beda jauh dengan pendapat teman saya yang berbunyi : susah mencari orang cantik fisik juga cantik hati. 

Jadi maksud dia rata-rata orang cantik nggak baik hati gitu? 

Wah teman saya kebangetan ini..pendapat ngawur. 

Banyakkkkk....banyak banget orang cantik itu baik hati. Di sekiling saya banyak orang cantik juga baik. Dan rombongan putri-putrian itu juga contohnya. Mereka melalui seleksi sulit dan memenuhi kriteria panitia dalam kategori cantik luar dalam. Meragukan mereka soal kecantikan hati mereka, berarti menghina dewan juri.


Tapi menurut teman saya, tak masalah cantik tapi tak baik. Setidaknya orang cantik itu enak dilihat, itu bagian dari menyenangkan orang lain ...itu kebaikan bukan? 

Orang cantik itu tak perlu susah mendapatkan sesuatu, segala perhatian dan kemudahan akan datang padanya.

Lebih baik cantik tapi busuk hati daripada rupa jelek tapi busuk hati. 


Ah ..teman saya ini..selalu berfikir positif. Saya suka.

Teman Bicara Kelas Dewa

Saya memiliki tetangga, tak tahu siapa nama aslinya, tapi orang-orang memangilnya Mbah Urut. Kemampuan pijatnya di level master.

Saat memijat, ia tak banyak bicara, lebih tepatnya tahu kapan harus bicara.  Ia mempersilakan "pasiennya" jika ingin tidur. Atau jika "pasiennya" ingin ngobrol ia akan punya obrolan menyenangkan.

Tarifnya tak mahal, baginya yang penting punya pelanggan setia itu yang utama.



Diluar urusan pijat memijat ia tetangga yang menyenangkan. Obrolan dengannya akan jadi obrolan level dewa, tanpa cela, tanpa membicarakan keburukan orang lain.....hanya kebaikan. 


Hidupnya bersahaja. Tinggal di kamar kontrakan satu ruangan ukuran 4 kali 3 dengan anaknya usia 30-an tahun.

Mba Urut mengaku menikah muda, usia 16 tahun. Lalu hamil dan  bercerai tak lama setelahnya. Ia pun berjuang sekuat baja membesarkan anaknya dikejamnya ibu kota. Awalnya ia menjadi pembantu rumah tangga seorang pengusaha Jepang, lalu pensiun dan memilih menjadi tukang urut setelah anak laki-laki semata wayangnya mampu bekerja menggantikan posisinya.


Hingga suatu saat ia di vonis menderita kanker di leher rahimnya.


Sejak itu pembicaraan kami menjadi sendu. Di sela obrolan ia kerap meminta maaf dan menangis. Ia merasa hidupnya tak lama lagi. 

Pengobatan di rumah sakit sempat ia dijalani. Tapi kemudian memutuskan berhenti dan pulang  kampung,  pulang ke ibunya yang telah renta. Setahun kemudian saya mendapat kabar ia tiada. Kanker membunuhnya dengan cepat.


Saat mengingat Mbah Urut, terbayang saat ia sedang mengemas bawang putih ke dalam kantong plastik. Ia bilang setiap hari selama sepekan menyisihkan 5 ribu rupiah untuk membeli bawang putih. Dan bawang putih itu akan ia kirim ke Ibunya. Bawang putih terbaik, dari hati yang putih, untuk Ibu terkasih.



Dan kini setelah 10 tahun berlalu sejak kematiannya, saya masih mengenangnya sebagai teman bicara sekelas dewa.


Dokter Muda

Saat pertama kali berobat ke rumah sakit di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, dalam ruang tunggu saya mendengar  seorang pasien menyampaikan ketidaksukaannya  ditangani dokter muda. Menurutnya dokter baru tak akan bisa menyembuhkannya, minim pengalaman dan tak bisa diandalkan.Ia hanya menginginkan ditangani dokter dengan gelar profesor.


Apakah anggapan itu betul?


Selanjutnya, saya menjadi seorang pengamat dokter. 


Selama ribuan hari di rumah sakit, saya bertemu dengan banyak dokter. Dokter muda, setengah muda dan dokter senior.


Saya menjadi saksi  dokter muda  yang canggung mengekor kemanapun seniornya, mencatat, lalu bertanya ini itu. 


Saya sama sekali tidak keberatan ditangani dokter muda. Toh apapun keputusan yang diambil dokter muda itu pasti terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dokter seniornya.

Seorang dokter pemula, mereka bukan orang bodoh. Mereka belajar dengan luar biasa, dengan kecerdasan setara penyelamat nyawa dan saya merasa bangga menjadi bagian dari mereka menuju kematangan profesi.


Saya tidak keberatan mereka belajar dari sakit saya, saya tidak keberatan menjadi obyek medis mereka. Saya tidak takut dianggap kelinci percobaan. Saya tidak keberatan mengulang riwayat sakit saya ke dokter A lalu dokter B,C,D,E..hingga X, karena saya tahu jawaban saya akan memberi pengalaman baru kepada mereka. Saya akan selalu  menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka seakan saya baru pernah mendapat pertanyaan itu untuk pertama kalinya.


Jika saya kelak berumur panjang, saya mungkin bisa melihat mereka yang kini canggung, tumbuh menjadi dokter-dokter hebat di bidangnya. Saya akan merasa bangga dan suatu kehormatan bagi saya, jika saya termasuk bagian dari hal yang membuat mereka menjadi hebat.


Sembuh adalah kuasa Tuhan, dan melalui dokter Tuhan bekerja dengan caraNya.