Saturday 23 October 2021

Sebelum Saatnya Tiba

Dalam kamar rawat berkapasitas empat pasien, saya merasakan udara panas dan pengap. Rupanya seorang pasien tak tahan dengan pendingin udara, sehingga 3 pasien lainnya harus mengalah. 


Saya pasien yang menunggu transfusi darah. Si Tak Tahan AC, pasien pasca operasi kista yang akan segera pulang, dan dua pasien lainnya adalah pasien dalam tahap tak lagi bisa disembuhkan, seorang diantaranya tepat di samping saya, seorang lainnya, berada tak jauh dari toilet. 


Dia yang tepat disebelah saya,  tak ada yang menemani. Sesekali ia merintih kesakitan, menyebut nama Tuhan, sisanya senyap. Suster merawatnya dengan baik, penuh simpati. Saya namakan dia : Si Sunyi. 


Sedangkan pasien yang berada di dekat toilet, ia terus menerus bicara, hampir tanpa jeda. Saya namakan ia Si Celoteh. Ada seseorang yang dibayar untuk menungguinya yang juga punya banyak kata. Saya mendengar perbincangan hampir tanpa henti. Kadang si penunggu bayaran ini juga mendekati saya dan bergosip mengenai Si Celoteh.Hingga kemudian perlahan suara  Si Celoteh menjadi cadel. Dokter menyampaikan sel kanker sudah menjalar ke hampir ke seluruh organ tubuhnya sehingga pasien merasakan sesak nafas dan sulit bicara normal.

Si Celoteh pun meminta pulang. Ia menyerah.


Sementara pada  hari kedua saya dirawat, Si Sunyi pulang dalam senyap. Bahkan saya tak menyadari kepulangannya. Saya kaget ketika saya keluar dari toilet tempat tidurnya telah kosong. Semula saya mengira ia ada tindakan di ruangan lain, tapi menurut suster Si Sunyi memilih "menunggu waktunya selesai " di rumah.

 


Merenungi nasib Sunyi dan Celoteh,  saya merasa melihat gambaran kemungkinan masa depan saya. Mungkin lima tahun ke depan atau lebih cepat, saya akan seperti keduanya. Tapi sebelum saat itu tiba, saya akan gunakan sebaik-baiknya.



Salemba, Jakarta Pusat, April 2021

No comments:

Post a Comment