Friday, 11 July 2014

Hujan, Pick Up dan Pocong

Ketika itu saya kelas 1 SMP. Beberapa ruang kelas harus diperbaiki sehingga harus masuk siang dan pulang jam 17.00 WIB. Apesnya, jam itu adalah jam terakhir bus umum beroperasi. 
Dan di suatu hari, saking asyiknya guru mengajar, jam pulang  molor 5 menit, yang artinya tamatlah kesempatan saya naik bus. Terpaksa saya dan 2 teman perempuan seperjuangan saya harus berjalan.... 30km !

Saat itu hujan turun deras, pantat bus terakhir hanya bisa kita pandangi dari kejauhan. Berlari mengejar sudah tak mungkin. Maka dengan menguatkan hati dan kaki, kamipun terpaksa berjalan.


Sepuluh kilometer pertama, kami masih bisa menikmati hujan, sisa jiwa kanak-kanak mengatakan bermain hujan menyenangkan. Kami tertawa-tawa dan sesekali menengadah dengan mulut terbuka, membiarkan air hujan membasai kerongkongan.

Sepuluh kilometer  kedua kami mulai kelelahan, hari mulai gelap, rumah penduduk mulai jarang, hujan masih deras. Dalam hati kami menyesal tak mau membawa payung dan  mulai menyalahkan guru kami.Kenapa beliau membubarkan kelas lima menit lebih panjang? Apakah beliau  tahu kami sedang menderita kelelahan, kedinginan, kelaparan dan ketakutan dengan petir yang menyambar-nyambar?


Secercah harapan muncul ketika dari kejauhan terlihat mobil mendekat. Siapapun pengendara mobil itu kami berniat menumpang. Berteriak girang melambai-lambaikan tangan berniat menumpang.Tapi..olala..amboi teganya. Mobil bak terbuka yang melintas itu hanya menyemprotkan genangan air hujan ke badan kuyup kami tanpa  mau berhenti.

Sambil tertunduk lesu kamipun terus berjalan. Derasnya air hujan seperti jarum menusuk-nusuk kulit kami bertiga. Limarutus meter kemudian kami bertemu lagi dengan mobil bak terbuka yang kami stop tadi. Rupanya mesinnya mati. Melihat mobil keparat itu, saking dinginnya kami tak bisa berkata apa-apa. Kami hanya saling berpandangan, lalu  sibuk menahan gemeletuk gigi melawan dingin. Yang pasti ada tiga kata dalam hati saya saat itu : Tuhan Maha Adil.

 
Dan lima  kilometer menjelang desa terdekat, pertolongan Tuhan datang. Mobil bak terbuka yang lain berhenti untuk kami tanpa kami minta. Sopir yang baik hati meminta kami naik, dan membolehkan kami memakan salak yang ada di karung di sudut bak. Sambil berteriak girang dan mengucapkan terimakasih, kamipun naik. Buah salak yang manis segar kami makan dengan rakus  mengusir lapar dan dingin.


Sampailah kami diperbatasan desa kami dengan desa tetangga. Kamipun turun. Dengan 3 butir salak diperut kami siap tempur berjalan 10 km lagi.

Hari sudah benar-benar gelap. Ketakutan mulai menyelimuti kami. Kenapa? Karena kami harus melewati satu pekuburan besar yang menjadi sumber puluhan cerita seram. Pekuburan itu jauh dari pemukiman penduduk, tak ada cahaya apapun kecuali petir yang sesekali menyambar. Kami bertiga berjalan kaku bak robot. Segala doa kami panjatkan agar Tuhan melindungi kami.
 
Tiba-tiba salah satu teman saya berteriak, ia berlari tunggang langgang. Saya dengan kebingungan ikut berlari, seraya bertanya.."Ada apa..ada apa? Teman saya tak menjawab, dia terus berlari, berteriak lalu menangis dengan kencang. 

Dan seperti keajaiban..tiba-tiba di ujung batas akhir pekuburan sudah ada Ibu saya muncul dengan payung dan wajah penuh kecemasan. Beliau memeluk teman saya yang ketakutan.

Esok harinya, barulah saya tahu alasan kenapa teman saya berlari bak kesurupan. Menurut Ibu, teman saya itu melihat ....pocong.

Weladalah....

No comments:

Post a Comment