Samar bunyi bedug yang dipukul dan pantat panci yang diadu dengan tutupnya, menerobos dinding kayu rumah kami, dan membangunkan saya yang terlelap.
Sahur...sahur.
Suara berisik pertanda waktu sahur itu, di kampung kami disebut Onclong. Mulai membahana pukul 02.00 WIB.
Sebenarnya saya ingin melihat langsung serunya "musik pukul" khas ramadhan itu, tapi karena rumah kami di lembah, sepertinya mereka malas mendekat. Bukan turun ke lembahnya yang jadi masalah, tapi ketika baliknya..hahah...berat menanjak bawa bedug.
Onclong ketika ditabuh dan diiringi teriakan ...sahur....sahur.... indah terdengar. Mungkin karena di kampung saya jarang ada hingar bingar.
Onclong ini sangat berjasa menghindarkan penduduk dari ketinggalan sahur. Tanpa Onclong penduduk kampung bangun hanya berdasar perasaan. Tapi bangun sahur sebenarnya akan lebih mudah lagi bagi mereka yang punya kebiasaan sholat tahajud di sepertiga malam. Dan saat itu (awal tahun 80an) belum banyak penduduk yang memiliki jam beker. Kala itu sebagian penduduk membaca jam dari bayangan benda, bayangan miring sekian jam sekian. Begitulah
Oh ya, soal bedug yang digunakan untuk Onclong, sering jadi bahan omelan pengurus mushola. Bukan karena tidak boleh dipakai, tapi karena setelah di pakai di geletakan begitu saja. Padahal seharusnya bedug kembali digantung ditempat semula. Mungkin setelah lelah keliling kampung, saking buru-buru khawatir imsak tiba, si pemukul bedug lupa merapikan si bedug. Lucu kan kalau yang membangunkan sahur justru malah telat sahur. Hehehe
Kala itu saya juga berpikir, ibu-ibu manakah yang setiap malam rela meminjamkan panci dan tutupnya untuk dipukul-pukul keliling kampung?
Di mata saya Si Ibu pemilik panci ini..sangat berjasa.
No comments:
Post a Comment