Kolam milik kakek besar dan dalam. Bertahun-tahun tak pernah dibersihkan dan
hanya berisi aneka rupa ikan yang tak rutin diberi pakan.
Kenapa kolam ditelantarkan? Entahlah.
Disamping kolam itu ada pohon pinang, sudah sangat tua. Akar-akarnya kokoh mencengkeram satu sisi kolam, membentuk pemandangan yang menurut saya cukup mengerikan. Akar-akarnya menghitam saling terkait, tak beraturan, sebagian terendam di air, sebagian lagi menyembul di pinggiran kolam seperti gigi-gigi raksasa.
Menurut Bapak saya disitulah belut raksasa tinggal.
Kenapa kolam ditelantarkan? Entahlah.
Disamping kolam itu ada pohon pinang, sudah sangat tua. Akar-akarnya kokoh mencengkeram satu sisi kolam, membentuk pemandangan yang menurut saya cukup mengerikan. Akar-akarnya menghitam saling terkait, tak beraturan, sebagian terendam di air, sebagian lagi menyembul di pinggiran kolam seperti gigi-gigi raksasa.
Menurut Bapak saya disitulah belut raksasa tinggal.
Ah..sayapun berimajinasi menyeramkan..jangan-jangan belutnya segede naga dan akan muncul dari tengah kolam dengan gagah perkasa.
Imaginasi itu sering muncul ketika saya sedang nangkring di pohon jambu batu yang tepat ada di seberang si pohon pinang.
Hingga suatu hari, Bapak saya memberikan saya satu petualangan hebat. Selepas subuh, Bapak mengajak saya ke kolam tua itu. Suasana masih remang-remang. Menurut Bapak, dari hasil pengintaianyan berhari-hari, belut raksasa itu akan muncul untuk keluar mencari makan setelah subuh.
Kami berduapun datang mengendap-endap. Dengan apa Bapak akan menangkap belut super itu? Ternyata bukan dengan umpan, tapi dengan sebuah parang. Aih..serunya..apakah akan terjadi pertempuran antara Bapak dengan Si Naga seperti dalam imaginasi saya?
Tepat seperti perkiraan Bapak, limabelas menit setelah kami mengintai munculah Si Belut. Jantung saya berdegup kencang. Untuk ukuran belut, besarnya memang luar biasa, 10kali lipat dari ukuran belut sawah yang sebesar kelingking.
Belut itu keluar dari lubang disela-sela akar. Diujung fajar yang mulai benderang, ia terlihat jelas di dasar air yang bening. Bapak saya siaga dalam kondisi parang terhunus, aih...saya melihat gaya Bapak bak patung-patung Romawi yang berdiri kokoh dengan parang teracung ke atas.
Lalu ...wuzzzzz..dengan satu sabetan supercepat, tepat di leher belut, parang itu mendarat. Entah dari mana Bapak belajar cara berburu seperti ini. Apa mungkin anugrah alam?
Belutpun segera Bapak angkat dari air, dan saya terpekik ketakutan. Belut itu juga sangat panjang, hampir dua meter. Saya sama sekali tak berani menyentuhnya.
Sampai rumah, belut itu Bapak potong-potong dan di goreng. Aromanya yang super amis membuat saya enggan menyantap. Melihat potongan dagingnya, saya serasa melihat potongan daging ular.
Saking banyaknya belut goreng itu, sampai berhari-hari saya melihatnya ada di lemari makan. Sebagian tentu menjadi santapan lezat kucing-kucing kami.
Kini..kolam itu telah berganti, menjadi kolam ikan yang terawat rapi. Tapi kenangan belut raksasa dan perburuannya akan selalu saya simpan di hati.
Imaginasi itu sering muncul ketika saya sedang nangkring di pohon jambu batu yang tepat ada di seberang si pohon pinang.
Hingga suatu hari, Bapak saya memberikan saya satu petualangan hebat. Selepas subuh, Bapak mengajak saya ke kolam tua itu. Suasana masih remang-remang. Menurut Bapak, dari hasil pengintaianyan berhari-hari, belut raksasa itu akan muncul untuk keluar mencari makan setelah subuh.
Kami berduapun datang mengendap-endap. Dengan apa Bapak akan menangkap belut super itu? Ternyata bukan dengan umpan, tapi dengan sebuah parang. Aih..serunya..apakah akan terjadi pertempuran antara Bapak dengan Si Naga seperti dalam imaginasi saya?
Tepat seperti perkiraan Bapak, limabelas menit setelah kami mengintai munculah Si Belut. Jantung saya berdegup kencang. Untuk ukuran belut, besarnya memang luar biasa, 10kali lipat dari ukuran belut sawah yang sebesar kelingking.
Belut itu keluar dari lubang disela-sela akar. Diujung fajar yang mulai benderang, ia terlihat jelas di dasar air yang bening. Bapak saya siaga dalam kondisi parang terhunus, aih...saya melihat gaya Bapak bak patung-patung Romawi yang berdiri kokoh dengan parang teracung ke atas.
Lalu ...wuzzzzz..dengan satu sabetan supercepat, tepat di leher belut, parang itu mendarat. Entah dari mana Bapak belajar cara berburu seperti ini. Apa mungkin anugrah alam?
Belutpun segera Bapak angkat dari air, dan saya terpekik ketakutan. Belut itu juga sangat panjang, hampir dua meter. Saya sama sekali tak berani menyentuhnya.
Sampai rumah, belut itu Bapak potong-potong dan di goreng. Aromanya yang super amis membuat saya enggan menyantap. Melihat potongan dagingnya, saya serasa melihat potongan daging ular.
Saking banyaknya belut goreng itu, sampai berhari-hari saya melihatnya ada di lemari makan. Sebagian tentu menjadi santapan lezat kucing-kucing kami.
Kini..kolam itu telah berganti, menjadi kolam ikan yang terawat rapi. Tapi kenangan belut raksasa dan perburuannya akan selalu saya simpan di hati.
No comments:
Post a Comment