Friday, 1 August 2014

Gaya Makan, Makan Gaya


Saat makan, saya tak pernah memikirkan gaya makan, makan ya makan. Sendok, sorongkan ke mulut, kunyah, telan. Saat makan sendirian atau makan dengan orang lain, ya pikiran saya sama, tidak pernah memikirkan apakah gaya makan saya elegan atau geradakan.

Ketika saya makan, sering teman-teman dikantor berkomentar,"Lapar banget kayaknya" dan selalu saya jawab "Iya" atau kalau mulut sedang mengunyah ya cukup dengan mengangguk.



Saat sedang tidak terlalu lapar, saya biasanya teringat aturan makan yang benar, 32 kali kunyah baru telan, tapi jika sedang sangat lapar, 10 kali kunyah makanan sudah sampai lambung dan teori kunyah 32 kali saya simpan di dengkul.


Saya itu pemakan segala, asal tidak basi, semua makanan saya sikat. Rasa lapar adalah "lauk" paling lezat. Seenak apapun makanan, jika perut kenyang ya otomatis tingkat nafsu makan saya menurun.


Kembali ke soal gaya makan, saya suka sekali melihat gaya makan kuli bangunan dan tukang cangkul disawah. Saat makan...mereka sangat lahap dan cepat, seakan dunia mereka menyempit jadi hanya selebar piring.


Tapi saya pernah membaca tulisan: tanda orang bahagia adalah ia menikmati makanannya dan makan dengan sangat pelan. Konon orang-orang Perancis makan dengan pelan-pelan. Nah loh......jadi selama ini gaya makan yang sangat saya sukai sebenarnya adalah perlambang dari ketidakbahagiaan?


Hingga kemudian saya "dicerahkan" oleh wanita cantik jelita yang makan di depan saya.

Kejadiannya beberapa hari lalu. Dengan kondisi sangat lapar saya masuk ke pantry yang tak jauh dari kubikel dimana meja kerja saya berada. Rasa lapar mendorong saya dengan semangat empat lima menyambar nasi kotak yang kantor sediakan.

Dimeja depan saya sudah ada beberapa rekan kerja saya yang sudah terlebih dulu makan. Setelah saling sapa, saking laparnya, saya hanya fokus ke kotak makan dan tak nimbrung pembicaraan mereka.


Nah..begitu makanan ludes, saya terperangah. Baru saya sadari di depan saya persis ternyata ada wanita cantik jelita berambut coklat berkulit putih dan sedang makan superrrrrrrr pelan  dengan gerakan gemulai bak penari Jawa. Ups..dia rupanya sedang memperhatikan saya dengan tatapan sebal. Saya tebak mungkin dia benci dengan gaya makan saya.


Setelah tatapan kami bertabrakan dia kembali makan, sementara saya menyenderkan badan kekenyangan.

Sambil menikmati lambung  bekerja, saya perhatikan gaya santap Si Cantik Jelita. Olala..saya hitung waktu dari dia menyendok makanan, hingga sendok itu mendarat di mulutnya adalah 5 detik, lalu gaya dia mengunyah....amboi...begitu pelan seperti adegan slow motion di film. Saya malas menghitung berapa kali dia mengunyah, anggap saja 32 kali.

Saya intip di kotak makannya, masih begitu banyak nasi dan lauk-pauk  disana. Padahal saya yang makan belakangan, sudah habis ludes tanpa sisa. Ah..jika teori di buku saya benar..hari itu saya beruntung  bisa bertemu orang cantik dan bahagia.


Hingga kemudian saya terlongo..saya lihat beberapa rekan pria saya, ternyata juga sedang asyik memperhatikan dan menggoda Si Slow Motion (untuk selanjutnya saya sebut dia Si SloMo ). Owalah..saya jadi berpikir.....apakah Si SloMo  ini makan dengan gemulai karena itu memang gaya aslinya, ataukah karena sedang makan di hadapan sejumlah pria yang asyik menggodanya?

Tapi jika saya perhatikan, rekan-rekan kerja saya yang cantik-cantik, baik cantik rata-rata ataupun istimewa mereka memang makan dengan gaya SloMo, seakan kecantikan dan gaya makan pelan mereka memang satu paket dan anugerah alam.


Tatapan saya kembali ke kotak makan saya. Apakah saya harus belajar mengunyah pelan? Apakah saya memang tidak bahagia?

No comments:

Post a Comment