Setiap tengah hari, suara klonengan siang akan membahana di lembah
tempat kami tinggal. Sumbernya dari RRI Purwokerto, yang dinyalakan
dengan volume hampir maksimal di radio kesayangan Bapak.
Kadang saya terpaksa tutup kuping, dan Ibupun harus berteriak agar protesnya bisa terdengar di telinga Bapak.
"Panas-panas begini kok nyalain radio kenceng-kenceng"
Tapi Bapak tak akan sedikitpun mengecilkan volume hingga klonengan selesai.
Lagu-lagu gending Jawa lengkap dengan sindennya akan memantul ke
hutan-hutan bambu yang mengelilingi rumah kami, dan mengikuti semilir
angin yang membuat Bapak terkantuk-kantuk.
Kadang saya iseng mengecilkan volume radio. Tapi begitu volume turun, biasanya Bapak akan bangun dari kantuknya, dan kembali mengencangkan volume, (bahkan dengan lebih kencang dari semula) dan kembali terkantuk-kantuk. Jika sudah begini saya hanya berharap baterai radio habis.
Kadang saya iseng mengecilkan volume radio. Tapi begitu volume turun, biasanya Bapak akan bangun dari kantuknya, dan kembali mengencangkan volume, (bahkan dengan lebih kencang dari semula) dan kembali terkantuk-kantuk. Jika sudah begini saya hanya berharap baterai radio habis.
Setelah listrik masuk kampung, dan kami memiliki radio tape, Bapak rajin membeli kaset lagu-lagu gending Jawa. Dan klonengan tak lagi harus siang bolong dan melulu dari RRI Purwokerto, namum bisa membahana kapan saja.
Tapi di era radio tape ini, saya sudah akhir masa SMA dan kost, jadi hanya Ibu saya yang lebih banyak menanggung bahananya.Saya hanya mengikuti perkembangan hobi Bapak ini dari kaset gending yang terus bertambah di tiap akhir pekan ketika saya pulang ke rumah.
Dan kini setelah Bapak tiada..ketika kangen ingin bertemu melanda, saya
ingin sekali berkata. "Jika saya punya kesempatan kedua..tak akan
keberatan saya mendengar klonenangan sepanjang hari..sekencang
apapun..asalkan Bapak saya hidup kembali"
Tapi...saya tahu pasti...Bapak tak akan pernah kembali.
No comments:
Post a Comment