Saturday, 6 September 2014

Belik Tanpa Bilik


Tiga puluhan tahun lalu, di belakang rumah nenek saya ada pemandian alam. Kami menyebutnya belik, semacam cerukan batu, yang terisi oleh mata air  alami. Saking beningnya, dasar cerukan terlihat sangat jelas....tak ada lumpur, hanya bebatuan berwarna hitam yang keras. Cerukan ini tidak  luas, hanya 1,5  kali lipat ukuran bak mandi bayi, sehingga derasnya mata air sering  meluber dari cerukan, lalu  mengalir ke sungai selebar 50cm yang persis berada di pinggir belik. Jika beruntung, saya bisa juga menyaksikan ikan berseliweran di sini.

Di sisi  cerukan berdiri kokoh  batu besar dengan permukaan datar yang sangat nyaman di pakai duduk ketika mandi, atau di jadikan alas untuk mencuci baju. Batu itu ada seolah memang disediakan alam untuk menyamankan siapa saja yang mandi.

Waktu saya masih sekolah dasar, sering saya mandi disini. Meski kadang was-was akan datangnya kelabang yang muncul dari sela bebatuan, tapi saya suka sekali dengan dingin dan beningnya air belik. Apalagi di sepanjang anak tangga tanah menuju belik, ada tanaman kaca piring yang bunganya besar, putih bersih dan harum sekali. Juga ada tanaman pakis dan suplir liar hijau menjuntai di kiri dan kanan belik. Beberapa pohon bambu diatasnyapun, merunduk seperti memberi naungan, atap alami yang sungguh indah.Tak perlu khawatir akan ada yang mengintip, karena secara alami, tempat ini benar-benar terlindungi.

Kala itu gayung plastik belumlah populer. Di belik, kakek saya membuat dan menaruh gayung dari tempurung kelapa, bergagang panjang dan lumayan besar, sehingga dipakai lebih nyaman, karena bisa memuat air lebih banyak.

Jika musim kemarau belik banyak di datangi warga kampung yang sumurnya kering. Kadang malah sampai harus antri.

Tapi sayang sekali, usia belik itu tak panjang hingga kini. Ketika saya SMA (akhir tahun 90an) Belik itu tertutup lumpur padat. Semua bermula ketika lahan dihulu sungai berubah fungsi dari sawah menjadi kolam. Dalam proses , pemilik lahan memilih membuang tanah yang di keruk, ke sungai. 
Maka terjadilah semacam banjir bandang, yang dengan sukses menutup belik. Selain itu, seiring waktu hutan bambu diatas belik yang sebenarnya sebagai penyedia mata air, telah di tebang sehingga tanah diatas belik mudah longsor.
Sungguh mengenaskan.

Beberapa kali Kakek dan Pak Lik saya menyingkirkan tanah-tanah itu dengan harapan belik kembali sempurna, tapi apa daya, lumpur terus berdatangan, terutama jika musim pembersihan kolam atau musim panen. Geram rasanya.

Kini..belik dengan air bening itu tinggal kenangan. 
Dan foto di bawah ini adalah kondisi terakhir dimana dulu belik indah itu berada.


No comments:

Post a Comment