Ketika anak-anak hingga remaja cita-cita saya menjadi pujangga. Banyak
puisi yang saya tulis, bahkan ratusan. Diusia SD, puisi saya banyak soal
alam, masuk SMP barulah ada puisi percintaan.
Saya beberapa kali diam-diam jatuh cinta pada seseorang, yang hanya bisa saya ungkapkan lewat puisi. Semakin saya merana, semakin mendayu dan semakin banyaklah puisi tercipta. Kadang saya membuat di atas pohon jambu, di pinggir kolam, atau di pingggir kali sambil memancing ikan. Hahahaha
Beberapa lomba puisi sempat saya ikuti ketika SMP, tingkatnya kabupaten. Tapi semakin sering saya ikut, semakin saya sadari, lebih baik saya menulis puisi saja, karena saya amat buruk terlihat ketika berpuisi di atas panggung. Baju sederhana, tampang bersahaja, tangan gemetar karena grogi, suara kemresek, dan wajah tanpa ekspresi selain memelas. Aneh kan, ketika membaca puisi heroik, tapi tampang saya tetap memelas? Hahahha. Jadilah saya memutuskan pensiun begitu dini dari ajang lomba baca puisi.
Pernahkah saya ikut lomba cipta puisi? Pernah, tapi selalu kalah. Sayapun putar otak, bagaimana cara agar bisa eksis tanpa malu? Hingga kemudian, ketika SMP saya kirimlah puisi ke majalah anak-anak lokal terbitan Semarang.
Dan..amboiiii...akhirnya ada nama saya dengan puisi tentang desa saya tercinta yang tercetak disana. Nama majalahnya CERIA (terbitan Semarang, dan sekarang sudah tidak terbit lagi). Rasanya....wuaaahh....luar biasa. Tak henti-hentinya saya pandangi nama saya, sambil bertanya-tanya..ini bukan mimpi kan?
Seminggu kemudian datanglah wesel, honor dari puisi saya, besarnya Rp 2500. Hahah.untuk saat itu bukan jumlah yang besar, tapi bukan pula jumlah yang terlalu kecil. Tapi..setidaknya itu hasil dari karya saya sendiri.
Dan setelah satu puisi itu, ada dua puisi lain yang akhirnya berhasil pula mejeng di CERIA. Ini semakin meyakinkan saya kalau karya saya ternyata tidak jelek-jelek amat. Namun hingga kini, memang hanya tiga puisi itulah hasil tertinggi dari "karir" saya sebagai pujangga. Setelah, SMA lalu dewasa dan penuh derita malah saya kehilangan selera menulis puisi. Lagipula setelah hidup di Jakarta, dan saya bisa datang ke toko buku kapan saja....saya ternganga dan merasa tidak ada apa-apanya dibanding begitu banyak nama besar yang tercetak di beberapa buku puisi, yang tak mampu saya beli.
Maka tamatlah kepujangaan yang ada di jiwa saya.
Sumber foto :koleksikemalaatmojo2.blogspot.com
Saya beberapa kali diam-diam jatuh cinta pada seseorang, yang hanya bisa saya ungkapkan lewat puisi. Semakin saya merana, semakin mendayu dan semakin banyaklah puisi tercipta. Kadang saya membuat di atas pohon jambu, di pinggir kolam, atau di pingggir kali sambil memancing ikan. Hahahaha
Beberapa lomba puisi sempat saya ikuti ketika SMP, tingkatnya kabupaten. Tapi semakin sering saya ikut, semakin saya sadari, lebih baik saya menulis puisi saja, karena saya amat buruk terlihat ketika berpuisi di atas panggung. Baju sederhana, tampang bersahaja, tangan gemetar karena grogi, suara kemresek, dan wajah tanpa ekspresi selain memelas. Aneh kan, ketika membaca puisi heroik, tapi tampang saya tetap memelas? Hahahha. Jadilah saya memutuskan pensiun begitu dini dari ajang lomba baca puisi.
Pernahkah saya ikut lomba cipta puisi? Pernah, tapi selalu kalah. Sayapun putar otak, bagaimana cara agar bisa eksis tanpa malu? Hingga kemudian, ketika SMP saya kirimlah puisi ke majalah anak-anak lokal terbitan Semarang.
Dan..amboiiii...akhirnya ada nama saya dengan puisi tentang desa saya tercinta yang tercetak disana. Nama majalahnya CERIA (terbitan Semarang, dan sekarang sudah tidak terbit lagi). Rasanya....wuaaahh....luar biasa. Tak henti-hentinya saya pandangi nama saya, sambil bertanya-tanya..ini bukan mimpi kan?
Seminggu kemudian datanglah wesel, honor dari puisi saya, besarnya Rp 2500. Hahah.untuk saat itu bukan jumlah yang besar, tapi bukan pula jumlah yang terlalu kecil. Tapi..setidaknya itu hasil dari karya saya sendiri.
Dan setelah satu puisi itu, ada dua puisi lain yang akhirnya berhasil pula mejeng di CERIA. Ini semakin meyakinkan saya kalau karya saya ternyata tidak jelek-jelek amat. Namun hingga kini, memang hanya tiga puisi itulah hasil tertinggi dari "karir" saya sebagai pujangga. Setelah, SMA lalu dewasa dan penuh derita malah saya kehilangan selera menulis puisi. Lagipula setelah hidup di Jakarta, dan saya bisa datang ke toko buku kapan saja....saya ternganga dan merasa tidak ada apa-apanya dibanding begitu banyak nama besar yang tercetak di beberapa buku puisi, yang tak mampu saya beli.
Maka tamatlah kepujangaan yang ada di jiwa saya.
Sumber foto :koleksikemalaatmojo2.blogspot.com
No comments:
Post a Comment