Di kampung saya (Luwung) yang indah, hijau dan penuh ikan, ada banyak hal yang membuat saya kalau mengingatnya pasti tertawa, minimal tersenyum-senyum sendiri.
Pertama, orang menyebut motor itu Honda..apapun merk-nya..ya disebutnya Honda..jadi jangan heran jika ada pertanyaan begini ;
"Hondanya merk apa, Yamaha ya?"
Selain itu dikampung saya orang menyebut mobil dengan motor.
Begitulah
Jaman saya kecil, di Luwung juga tidak ada warung makan, jadi jika ada pejalan kaki tersesat di kampung kami, alamat bakal sengsara, karena untuk menemukan warung harus ke desa tetangga dengan jarak sepuluh kilo. Dijamin pingsan sebelum pintu warung kelihatan.
Satu lagi.....Kampung saya
yang terpencil, punya akses ke jalan raya kabupaten via desa tetangga.
Untuk ke desa tetangga, harus menyeberang sungai dengan jembatan ala
Indiana Jones. Jembatan ini ada diatas sungai Serayu yang lebar, dalam
dan banyak mistiknya.
Jembatannya model jembatan gantung, yang saat kita melintas benar-benar serasa mau mati ditiang gantung. Bagaimana tidak, jembatan yang panjangnya kurang lebih 100 meter itu terbuat dari kayu dengan kiri kanan tanpa pengaman, hanya dua utas tali di kiri kanan sebagai tempat bergantung.
Dulu untuk ke sekolah menengah atas, selama 3 tahun, setiap hari dua kali sehari saya harus menantang ajal disini. Jatuh atau terpeleset....matilah sudah.....jatuh ke sungai 25 meter di bawahnya, dengan kedalaman sungai konon sampai 100 meter (kami menyebutnya kedung).
Untuk urusan jembatan ini saya punya trik....jika jembatan bergoyang keras (karena saking banyaknya yang melintas), maka jangan diam dan panik, saya justru ikut menggoyang jembatan sehingga saya bisa dapat keseimbangan. Karena jika saya diam, sayalah yang akan terpental.
Sebisa mungkin saya juga menghindari berpapasan dijembatan ini. Jika diujung jembatan saya lihat ada yang akan menyeberang maka lebih baik saya mundur menunggu hingga jembatan benar-benar kosong.
Bagi saya, berpapasan di jembatan, itu artinya 5 cm menuju kematian.
Jika ingat jembatan ini, saya tersenyum sendiri, mengingat betapa hebatnya penduduk di desa kami bisa melaluinya dengan selamat.
Sumber foto : gumiwang.penadesa.or.id dan ilhamilaraswidyani.blogsopt.com
Jembatannya model jembatan gantung, yang saat kita melintas benar-benar serasa mau mati ditiang gantung. Bagaimana tidak, jembatan yang panjangnya kurang lebih 100 meter itu terbuat dari kayu dengan kiri kanan tanpa pengaman, hanya dua utas tali di kiri kanan sebagai tempat bergantung.
Dulu untuk ke sekolah menengah atas, selama 3 tahun, setiap hari dua kali sehari saya harus menantang ajal disini. Jatuh atau terpeleset....matilah sudah.....jatuh ke sungai 25 meter di bawahnya, dengan kedalaman sungai konon sampai 100 meter (kami menyebutnya kedung).
Untuk urusan jembatan ini saya punya trik....jika jembatan bergoyang keras (karena saking banyaknya yang melintas), maka jangan diam dan panik, saya justru ikut menggoyang jembatan sehingga saya bisa dapat keseimbangan. Karena jika saya diam, sayalah yang akan terpental.
Sebisa mungkin saya juga menghindari berpapasan dijembatan ini. Jika diujung jembatan saya lihat ada yang akan menyeberang maka lebih baik saya mundur menunggu hingga jembatan benar-benar kosong.
Bagi saya, berpapasan di jembatan, itu artinya 5 cm menuju kematian.
Jika ingat jembatan ini, saya tersenyum sendiri, mengingat betapa hebatnya penduduk di desa kami bisa melaluinya dengan selamat.
Sumber foto : gumiwang.penadesa.or.id dan ilhamilaraswidyani.blogsopt.com
No comments:
Post a Comment