Saat itu saya masih SMP, antara tahun 1994/1995. Sekolah memutuskan study tour ke Jakarta.
Bagi orang kampung seperti saya, kala itu, mendengar kata Jakarta saja sudah merinding (saking kagumnya). Tapi orang tua yang tak punya cukup dana sempat membuat hati saya terluka.
Amboiiii sedihnya.
Bagi orang kampung seperti saya, kala itu, mendengar kata Jakarta saja sudah merinding (saking kagumnya). Tapi orang tua yang tak punya cukup dana sempat membuat hati saya terluka.
Amboiiii sedihnya.
Lalu tanpa sengaja, di majalah lokal terbitan Semarang saya menemukan alamat konglomerat Probosutedjo, adiknya Presiden Suharto. Munculan ide.
Dengan pemikiran polos saya menulis surat untuk Probosutedjo, kurang lebih begini isinya :
Kepada
Yth : Bapak Probosutedjo
di Jakarta
Saya Mugi Rahayu, siswi SMP, tinggal di satu desa tertinggal di Jawa Tengah. Sekolah saya akan mengadakan study tour ke Jakarta tapi orang tua saya tidak punya uang untuk biayanya. Karena itu saya mohon bantuan Bapak untuk sudi kiranya memberi sedikit bantuan pada saya, Rp. 20.000 saja, agar anak kampung seperti saya bisa melihat megahnya ibukota.
Mohon maaf atas kelancangan saya
Terimakasih
Mugi Rahayu
Surat saya kirim di kantor pos tak jauh dari sekolah. Tak berharap banyak akan mendapat balasan, karena saya tahu, mungkin sekali surat saya tak akan pernah di baca. Apalagi tulisan tangan saya sangat jelek.
Tapi selang beberapa minggu, saya terhenyak..tak percaya melihat kartu wesel warna kuning nangkring manis di depan kantor Tata Usaha (TU) dengan nama saya tertulis indah. Dan Olala....ada nominal angka Rp 100.000 di sana.
Weladalah...mau pingsan rasanya. Disaat itu jumlah Rp.100.000 adalah nilai yang sangat-sangat besar..apalagi bagi anak dari keluarga miskin seperti saya.
Siapa pengirimnya? Walah..kok bukan Probosutedjo...tapi nama yang sungguh saat ini saya telah lupa. Menurut petugas TU, kemungkinan itu nama pegawai atau ajudan Probosutedjo, karena jika di tulis Probosutedjo maka akan menimbulkan kehebohan.
Dengan kepala pening oleh kebahagiaan yang menumpuk saya lari ke kantor pos untuk menguangkan wesel itu. Dan uang Rp.100.000 mendarat dengan indah di kantong saya. Pulang ke rumah..amboi, bangganya orang tua saya.
Segera saya tulis surat balasan sebagai ucapan terimakasih. tapi seminggu kemudian surat itu kembali dengan catatan : tidak ada nama yang dimaksud dialamat tersebut. Sungguh mulia penolong saya. Ia bahkan tak bersedia memberi nama yang sebenarnya.
Uang itu lalu saya gunakan untuk membayar biaya study tour, membeli dua kaos, satu sepatu, dan satu tas punggung. Dan akhirnya dengan bangga dan semua serba baru saya tiba di Jakarta.
Kini 18 tahun sejak wesel itu saya terima, telah 14 tahun saya tinggal di Jakarta. Pekerjaan saya sangat memungkinkan untuk bersua Probosutedjo..tapi takdir belum mempertemukan kami.
Semoga suatu saat kami dipertemukan sehingga saya bisa mengucapkan terimakasih yang telah tertunda puluhan tahun. Terimakasih karena telah membagi saya kebahagiaan yang tak terlupakan hingga kini.
Sumber foto : Wikipedia
No comments:
Post a Comment