Tuesday, 10 June 2014

Televisi Dan Roda Gila

Diawal tahun 80an, ketika saya balita, keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi. Waktu itu di desa kami yang memiliki televisi bisa dihitung dengan jari. Saya ingat persis, habis magrib begitu banyak tetangga yang datang untuk menonton. Bapak saya senang sekali karena bisa ada teman ngobrol. Apalagi jika diputar film G/30SPKI, wow..penonton penuhhhh sampai keluar pintu rumah. Sayangnya, seumur-umur sampai film itu sudah tidak ditayangkan lagi, saya belum pernah sekalipun nonton. Menurut Ibu saya filmnya penuh kekejaman berdarah-darah, juga jam tayangnya yang tengah malam sampai hampir pagi, tidak cocok untuk saya kala itu. Alhasil saya kadang hanya terbangun, dan terbengong-bengong sebentar. Sayup-sayup terdengar di telinga saya ada yang berkata di televisi " Darah itu merah, Jenderal" Lalu saya tidur lagi.

Karena belum ada listrik, televisi hitam putih kami dinyalakan dengan accu. Jika strumnya habis, maka gambar di layar akan seperti kue lapis yang miring-miring. Nah...itu artinya saya dan Bapak harus segera bersepeda ke desa tetangga untuk mengisi ulang strumnya. Biasanya untuk proses strum menyetrum ini butuh waktu sehari, yang terasa sangat lama bagi saya. Karena sehari itu bisa berarti saya tidak bisa menonton Klompencapir, atau menonton Kamera Ria, atau Si Unyil.

Bagi masa balita saya, televisi itu sangat berharga dan tiada duanya. Selesai menonton Ketoprak, saya akan sangat begitu terhanyut oleh ceritanya, sampai kadang saya ikut merana.

Tapi kami tak lama memiliki televisi ini. Untuk satu alasan yang saya kala itu belum terlalu paham, televisi itu di jual, lengkap dengan lemari super besar yang selama ini "membingkai" televisi kami. Padahal lemari itu sudah saya tulisi nama saya dengan sangat tebal dan jelas dibagian belakangnya menggunakan spidol warna hitam. (Belasan tahun kemudian ketika saya datang ke saudara yang membeli lemari itu, nama saya masih terpampang disana). Amboi..sedihnya. Hati terasa di sayat-sayat.

Seiring dengan penjualan televisi dan lemari, menyusul juga dijual sepeda BMX kebanggaan kaka saya. Sepeda BMX warna biru muda yang saat itu sedang heboh luar biasa.
Yang tersisa di rumah kami kemudian hanyalah satu radio tua, yang segera jadi satu-satunya kebahagiaan saya.

Dunia memang berputar seperti roda..kadang seperi sepeda roda tiga atau seperti roda-roda gila.

Sejak saat itu pula..tak ada lagi tetangga yang berbondong-bondong ke rumah kami..justru sayalah yang kemudian nebeng menonton televisi di rumah tetangga. Olala...

No comments:

Post a Comment