Bapak
saya pecinta kucing. Dari keempat anaknya, hanya saya yang ketularan
cinta itu.Tak heran sejak kecil saya di kelilingi banyak binatang
berkumis. Ya, memang hanya kucing kampung, kalau kucing Anggora berarti
Bapak saya kaya raya...hehe.
Jumlah terbanyak yang pernah ada di rumah 11 ekor. Dan jumlah itu segera menyusut seiring dengan protes ibu yang menggema di sudut sudut rumah. Bagaimana tidak..terkadang si kucing ini pup dan pipis sembarangan. Dan ibulah yang membersihkan.
Lalu bagaimana jumlah itu menyusut? Dengan cara di berikan ke tetangga atau siapa saja yang membutuhkan. Bagi saya sih proses beri memberi kucing ini adalah proses yang memilukan, menyayat hati kecil saya, membuat saya menangis sesenggukan di bawah pohon pepaya. Bagaimana tidak? Anak-anak kucing yang lucu itu akan dibawa tetangga dengan karung, dengan alasan agar tidak tahu jalan pulang. Aduhhh...betapa sadisnya cara itu. Si kucing kecil dipisahkan dari induknya dengan semena-mena. Setelahnya saya tidak akan bisa tidur berhari-hari membayangkan betapa takutnya si kucing kecil seorang diri.
Sekarang, setelah dewasa, saya bisa paham banyak hal yang membuat Ibu saya tidak menyukai kecintaan saya pada kucing.
Begini...Setiap induk kucing pergi dan agak lama tak kembali, saya akan menangis sedih tiada tara. Kenapa? Karena saya khawatir..saya membayangkan si induknya tak kembali, sehingga anak-anaknya akan kelaparan. Tangisan saya ini akan berlangsung terus menerus berjam-jam sampai induknya kembali. Dan tentu saja selama itu Ibu saya akan kesana kemari mencari si induk kucing. Repotkan?
Selain itu, bila waktunya makan siang, saya sering berpura-pura menjatuhkan dadar telur kelantai? Kenapa? Semata karena saya tidak tega melihat tatapan si kucing yang memelas meminta. Tentu saja kebiasaan jatuh menjatuhkan ini akan membuat Ibu kesal..karena telur yang didapat dengan susah payah berakhir di perut kucing, bukan perut anak bungsunya. Hahah..
Selain telur, jatah susu untuk sayapun sering diam-diam saya suguhkan pada si pus. Kenapa? Karena saya ingin si kucing menjadi sehat dan kuat sehingga tidak tertarik lagi mengejar tikus. Apa sebab? Karena di kampung saya, sebagian warga punya hobi meracun tikus, nah bangkai si tikus ini beberapa kali di makan kucing-kucing saya sehingga harus meregang nyawa. Sedihnya..ulala.
Jadi saya akan menangis histeris jika si kucing pulang dengan tikus di mulut. Saya akan dengan sekuat tenaga merebutnya. Tindakan ini hanya sekedar jaga-jaga. Padahal bisa saja tikus yang si kucing bawa itu segar bugar tanpa racun diperut dan sudah tunggang langgang di kejarnya.
Selain segala tangis itu, saking cintanya pada kucing, saya tak tahan untuk tidak mencium mereka, akibatnya bulu-bulu si pus masuk ke saluran nafas. Hasilnya....asma.
Dan ketika batuk plus sesak nafas datang, siapakah yang repot? Ya Ibu saya.
Ah, jika membayangkan semua itu..saya jadi makin sadar..dari kecil sampai dewasa sekarang, belum berhenti merepotkan Ibu saya tercinta.
Maafkan saya ya Bu..
Jumlah terbanyak yang pernah ada di rumah 11 ekor. Dan jumlah itu segera menyusut seiring dengan protes ibu yang menggema di sudut sudut rumah. Bagaimana tidak..terkadang si kucing ini pup dan pipis sembarangan. Dan ibulah yang membersihkan.
Lalu bagaimana jumlah itu menyusut? Dengan cara di berikan ke tetangga atau siapa saja yang membutuhkan. Bagi saya sih proses beri memberi kucing ini adalah proses yang memilukan, menyayat hati kecil saya, membuat saya menangis sesenggukan di bawah pohon pepaya. Bagaimana tidak? Anak-anak kucing yang lucu itu akan dibawa tetangga dengan karung, dengan alasan agar tidak tahu jalan pulang. Aduhhh...betapa sadisnya cara itu. Si kucing kecil dipisahkan dari induknya dengan semena-mena. Setelahnya saya tidak akan bisa tidur berhari-hari membayangkan betapa takutnya si kucing kecil seorang diri.
Sekarang, setelah dewasa, saya bisa paham banyak hal yang membuat Ibu saya tidak menyukai kecintaan saya pada kucing.
Begini...Setiap induk kucing pergi dan agak lama tak kembali, saya akan menangis sedih tiada tara. Kenapa? Karena saya khawatir..saya membayangkan si induknya tak kembali, sehingga anak-anaknya akan kelaparan. Tangisan saya ini akan berlangsung terus menerus berjam-jam sampai induknya kembali. Dan tentu saja selama itu Ibu saya akan kesana kemari mencari si induk kucing. Repotkan?
Selain itu, bila waktunya makan siang, saya sering berpura-pura menjatuhkan dadar telur kelantai? Kenapa? Semata karena saya tidak tega melihat tatapan si kucing yang memelas meminta. Tentu saja kebiasaan jatuh menjatuhkan ini akan membuat Ibu kesal..karena telur yang didapat dengan susah payah berakhir di perut kucing, bukan perut anak bungsunya. Hahah..
Selain telur, jatah susu untuk sayapun sering diam-diam saya suguhkan pada si pus. Kenapa? Karena saya ingin si kucing menjadi sehat dan kuat sehingga tidak tertarik lagi mengejar tikus. Apa sebab? Karena di kampung saya, sebagian warga punya hobi meracun tikus, nah bangkai si tikus ini beberapa kali di makan kucing-kucing saya sehingga harus meregang nyawa. Sedihnya..ulala.
Jadi saya akan menangis histeris jika si kucing pulang dengan tikus di mulut. Saya akan dengan sekuat tenaga merebutnya. Tindakan ini hanya sekedar jaga-jaga. Padahal bisa saja tikus yang si kucing bawa itu segar bugar tanpa racun diperut dan sudah tunggang langgang di kejarnya.
Selain segala tangis itu, saking cintanya pada kucing, saya tak tahan untuk tidak mencium mereka, akibatnya bulu-bulu si pus masuk ke saluran nafas. Hasilnya....asma.
Dan ketika batuk plus sesak nafas datang, siapakah yang repot? Ya Ibu saya.
Ah, jika membayangkan semua itu..saya jadi makin sadar..dari kecil sampai dewasa sekarang, belum berhenti merepotkan Ibu saya tercinta.
Maafkan saya ya Bu..
No comments:
Post a Comment